Keadilan bagi Eliezer

15/2/2023 05:00
Keadilan bagi Eliezer
Ilustrasi MI(MI/Seno)

VONIS bagi Richard Eliezer yang dijadwalkan hari ini akan menjadi catatan penting dalam peradilan kita. Sebab, vonis ini bukan semata tentang kasus pembunuhan berencana, melainkan juga tentang peran saksi pelaku yang bekerja sama atau biasa disebut justice collaborator (JC) di mata pengadilan.

Hingga kini, meski keberadaan JC telah signifikan dalam pengungkapan sejumlah kasus penting, putusan hukum yang diterima para JC kerap belum proporsional. Ditambah lagi dengan belum tuntasnya peraturan tentang JC, vonis-vonis yang tidak mencerminkan keadilan dapat menjadi preseden buruk dalam upaya mendorong peran JC.

Dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat, respons berbeda terhadap peran JC juga terlihat antara LPSK dan jaksa. Rekomendasi LPSK untuk Eliezer sebagai JC tidak membuahkan tuntutan yang lebih ringan jika dibanding dengan tiga terdakwa lainnya.

Pada 18 Januari 2023, jaksa menuntut Eliezer 12 tahun penjara. Tuntutan Eliezer hanya lebih ringan dari tuntutan terhadap otak pembunuhan, mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo, yakni 20 tahun penjara. Sementara itu, Putri Candrawathi yang merupakan istri Sambo, Bripka Ricky Rizal, dan asisten rumah tangga Kuat Ma’ruf, dituntut 8 tahun penjara.

Dalam menanggapi kekecewaan publik, Kejaksaan Agung menilai Eliezer tidak masuk ke kategori JC. Kejaksaan Agung mengacu pada kategori tindak pidana dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011.

Tindak pidana tertentu yang tersebut dalam dua aturan itu ialah pidana pelanggaraan HAM berat, korupsi, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, narkotika, psikotropika, seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

Perbedaan pemahaman antara LPSK dan Kejaksaan Agung tentang pidana yang melibatkan Eliezer menunjukkan masih sangat abu-abunya keberadaan JC. Semakin disayangkan, KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi JC secara tuntas.

Terlebih lagi, keberadaan LPSK masih lemah dalam sistem hukum kita. Lembaga yang dibentuk tahun 2006 ini belum diakui dalam KUHAP sehingga rekomendasi yang diberikannya pun lemah. Boleh dipatuhi ataupun sebaliknya.

Revisi KUHAP memang telah masuk Prolegnas Prioritas 2023 DPR. Meski begitu, penuntasannya bisa menjadi masih jalan panjang.

Sebab itu, sekali lagi, upaya mendorong peran JC dalam pengungkapan kasus-kasus di Indonesia, bergantung pada kejelian setiap penegak hukum. Terkait posisi Eliezer, dari empat pilar penegak hukum, kejelian kini tinggal disandarkan kepada hakim. Tiga pilar lainnya, yakni polisi, jaksa, dan advokat, telah tunai tugas.

Dari sidang vonis yang telah berlangsung dua hari kemarin, majelis hakim memang telah mewujudkan keadilan. Empat vonis ultra petita juga menepis keraguan tentang independensi majelis yang diketuai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso itu.

Kita tentu berharap keadilan akan tegak pula pada sidang vonis Eliezer hari ini. Di sisi lain, keadilan semestinya bukan semata matematika vonis yang lebih rendah.

Sebab, dengan empat vonis ultra petita terhadap terdakwa lainnya, angka tuntutan jaksa terhadap Eliezer telah kini dapat disebut lebih rendah. Namun, kita mendorong majelis hakim tidak terpaku pada itu. Majelis hakim harus menjatuhkan vonis yang seadil-adilnya seusai dengan fakta persidangan dan kemanfaatan JC yang telah dijalankan Eliezer.

Kemanfaatan serorang JC inilah yang juga ditekankan mantan hakim agung Prof Gayus Lumbuun. Pada kasus tipikor, misalnya, JC harus berperan maksimal mengembalikan kerugian negara. Maka dalam kasus lainnya, majelis hakim harus juga jeli menilai kemanfaatan itu.

Kembali pada Eliezer, meski sebagian pihak menilai pengungkap pertama bukanlah dirinya, melainkan keluarga Brigadir Joshua, kemanfaatannya tetap tidak bisa disepelekan. Pengakuan Eliezer tidak saja mengungkap pembunuhan, tetapi juga kebobrokan moral banyak perwira polisi.

Dari kerja samanya pula, perubahan dalam tubuh Polri, setidaknya untuk Divisi Propam telah terjadi. Tidak hanya itu, terbukanya kasus ini memaksa Polri untuk mengakui adanya penyalahgunaan wewenang yang luas dan sangat berbahaya.

Penyalahgunaan itu membunuh profesionalisme dan integritas yang semestinya dijunjung polisi. Seluruh hal inilah yang harus juga menjadi pertimbangan untuk tegaknya keadilan bagi seorang JC di dalam lingkungan kepolisian. 



Berita Lainnya