Takluknya Penjagal Keadilan

14/2/2023 05:00
Takluknya Penjagal Keadilan
(Sumber: PN Jakarta Selatan/Amnesty International/Litbang MI; foto: MI/Usman Iskandar; ilustrasi: Seno)

PENEGAKAN hukum sejatinya memang bermuara pada terungkapnya kebenaran dan terciptanya keadilan. Tercapainya keadilan itulah yang membuat wibawa hukum tetap terjaga. Supremasi hukum yang benar-benar tegak untuk melindungi masyarakat tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun.

Seperti keadilan yang menemukan wujudnya ketika tangis seorang ibu yang mencari keadilan, Rosti Simanjuntak, pecah di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seiring vonis mati yang dijatuhkan hakim Wahyu Iman Santoso kepada mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo.

Tidak hanya bagi Ferdy Sambo, drama panjang pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut telah sampai pada pemberhentian pertama juga untuk Putri Candrawathi yang divonis 20 tahun penjara.

Vonis pengadilan tingkat pertama terhadap Sambo dan Putri ini disambut telah memenuhi rasa keadilan. Tidak hanya bagi keluarga korban, tetapi juga pihak-pihak yang dipaksa turut serta dalam tindak kejahatan mereka. Pun, bagi hukum itu sendiri. Hukum yang sejak awal dipaksa bengkok oleh Sambo.

Serangkaian rekayasa oleh segerombolan penjagal hukum disusun untuk membuat gelap upaya pencarian keadilan dengan sandiwara bahwa telah terjadi pelecehan seksual terhadap Putri oleh Yosua.

Karena alasan tersebut pula, vonis maksimal untuk Sambo dianggap sangat layak diberikan. Pasalnya, sebagai pejabat utama Polri, jenderal bintang dua, Sambo yang seharusnya menjaga kesucian hukum malah melecehkan dan memerkosa hukum dengan merekayasa kasus.

Dua putusan ultra petita tersebut telah mampu menepis asumsi-asumsi liar tentang independensi hakim, juga upaya gerakan bawah tanah yang sempat menyeruak di ruang publik. Apalagi vonis untuk Putri, dari tuntutan 8 tahun penjara menjadi vonis 20 tahun.

Putri dianggap terbukti dan turut serta dalam upaya pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. Putusan terhadap Putri itu bulat mufakat tanpa ada perbedaan pendapat dari majelis hakim.

Terwujudnya keadilan dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua Hutabarat di tingkat pertama telah membuat proses penegakan hukum di negeri ini mampu meninggikan martabatnya.

Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Wahyu Iman Santosa sebagai ketua majelis hakim, dengan anggota majelis hakim terdiri atas Morgan Simanjuntak dan Alimin Ribut Sujono, patut mendapat apresiasi dalam menjatuhkan vonis bagi Sambo dan Putri.

Namun, keadilan tidak cukup hanya pada sidang dengan terdakwa Sambo dan Putri. Publik juga berharap dewi keadilan berpihak kepada Richard Eliezer yang telah dengan berani membuka kotak pandora kasus ini sehingga membuat skenario yang disusun Sambo runtuh.

Seandainya Richard tidak mau jujur, kasus ini akan tetap diproses sebagai kejadian tembak-menembak yang dipicu pelecehan seksual sesuai dengan skenario Sambo.

Untuk itulah, tuntutan tinggi terhadap Richard oleh jaksa penuntut umum, 12 tahun penjara, butuh dibalikkan sekali lagi oleh para ‘Wakil Tuhan’ di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Apalagi Richard adalah saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar kejahatan, justice collaborator, yang menurut Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mestinya divonis paling rendah di antara para terdakwa lainnya.

Secercah wujud keadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini mesti terpancar pula di seluruh lembaga peradilan. Apalagi, proses hukum ini masih panjang. Langkah hukum lanjutan, upaya banding hingga kasasi, akan dilakukan oleh para terpidana.

Sorotan publik yang begitu besar dalam tujuh bulan kasus ini berjalan tidak boleh lengah hingga nanti inkrah. Hanya dengan itulah potensi-potensi untuk mempermainkan hukum bisa dicegah. Jangan biarkan para penjagal keadilan menguasai dan menentukan keberpihakan hukum.



Berita Lainnya