Perdamaian itu Merangkul

10/2/2023 05:00
Perdamaian itu Merangkul
(MI/Duta)

RANTAI kekerasan di Tanah Papua hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda akan terputus. Peristiwa pembakaran pesawat Susi Air di Bandara Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, awal pekan ini menjadi peristiwa terbaru kekerasan di ‘Bumi Cenderawasih’.

Seperti juga Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pimpinan Egianus Kogoya yang mengaku melakukan pembakaran tersebut. Mereka juga meneror 15 pekerja bangunan puskesmas setempat.

Peristiwa itu menguatkan indikasi bahwa teror dan kekerasan belum akan surut, bahkan amat mungkin semakin kerap tahun ini. Dalam catatan kepolisian, sepanjang 2022 saja terjadi 90 kali aksi kelompok kriminal bersenjata (KKB) di 14 kabupaten/kota di Papua. Aksi-aksi tersebut menelan 48 jiwa dan 27 luka-luka.

Polisi menduga 35 dari korban tewas merupakan anggota KKB. Kemudian, 10 merupakan prajurit TNI dan 3 personel Polri. Akan tetapi, bila kita tanyakan kepada pihak KKB, mereka tentu akan mengeklaim banyak dari 35 orang itu merupakan penduduk sipil. KKB juga menyatakan korban jiwa dari kalangan sipil yang menjadi sasaran KKB ialah mata-mata aparat keamanan.

Saling klaim identitas korban itu hanya wujud dari pertentangan ego tiap pihak. Kebenarannya menjadi relatif, tergantung pada siapa yang membeberkan data. Namun, satu yang tidak terbantahkan, warga sipil merupakan korban yang paling menderita dari rantai kekerasan di Papua.

Bayangkan, sudah tujuh presiden silih berganti memimpin negeri ini. Sedikitnya, empat generasi warga Papua terlahir dan semuanya masih saja dilingkupi rasa takut yang ditimbulkan oleh konflik dan kekerasan. Berulang kali warga terpaksa mengungsi karena keselamatan jiwa mereka terancam.

Pemerintah bisa saja mengatakan teror dan kekerasan itu saat ini hanya terjadi di segelintir wilayah, seperti Puncak Jaya, Intan Jaya, Nduga, Dogiya, dan Pegunungan Bintang. Daerah-daerah lainnya aman dan warganya beraktivitas secara normal.

Lalu, apakah warga di kelima wilayah yang disebut segelintir itu tidak berhak untuk mendapatkan rasa aman? Pasal 28 UUD 1945 dengan jelas menyatakan setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Amanat itu diteguhkan dengan Pasal 35 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), bahwa setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.

Oleh sebab itu, kewajiban pemerintah mengerahkan segala daya dan upaya untuk memastikan segenap warga hidup dengan rasa aman. Daya dan upaya itu juga harus melalui perhitungan untuk memastikan efektivitasnya.

Pendekatan militer dan keamanan yang selama ini dipakai terbukti tidak mampu menyudahi rantai kekerasan di Papua. Maka, ganti dengan daya dan upaya lain. Bukan sekadar omongan.

Pendekatan pembangunan dan pemerataan peningkatan kesejahteraan wajib diterapkan. Seiring dengan itu, dialog-dialog damai yang tentu saja melibatkan pihak TPNPB-OPM mesti diupayakan lebih keras.

Jangan lagi memosisikan mereka sebagai musuh yang harus ditumpas. Mereka juga pihak yang semestinya dirangkul. Dengan begitu, barulah bersama-sama, kita bisa mewujudkan perdamaian berkesinambungan di Papua.



Berita Lainnya