Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
HARI ini Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan gugatan judicial review Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ketangguhan MK sebagai penjaga pilar konstitusi kembali bakal diuji. Tidak hanya dalam hal penjagaan konstitusi, pada perkara ini MK bahkan berpeluang tampil sebagai penyelamat demokrasi atau malah sebaliknya.
Mengapa disebut begitu? Alasan pertama, yang menjadi objek gugatan kali ini ialah Undang-Undang Pemilu. Adapun pemilu merupakan salah satu tolok ukur terdepan dari kualitas demokrasi. Alasan kedua, sistem pemilu proporsional terbuka, poin yang kini digugat di MK itu, adalah sistem yang memuliakan daulat rakyat. Kita tahu rakyat adalah subjek utama demokrasi.
Dengan dua alasan itu, sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa titik krusial masa depan demokrasi Republik ini berada di pundak majelis hakim di MK. Apakah demokrasi bakal terselamatkan atau justru terkubur dalam-dalam, tergantung pendapat dan interpretasi MK.
Tugas publik sebatas mengingatkan agar mereka tetap memperhatikan tiga prinsip esensial dalam setiap pengambilan putusan, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Sesungguhnya MK sendiri yang telah memilih jalan konstitusional dengan menetapkan sistem pemilu proporsional terbuka sebagai sistem pemilu legislatif di negeri ini. Itu termaktub dalam Putusan MK Nomor 22/PUU-XX/2008 pada 23 Desember 2008 lalu yang menyatakan dasar penetapan calon anggota legislatif terpilih berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan.
MK mengonstruksikan frasa 'kedaulatan rakyat' sebagai dasar putusan mereka kala itu. Putusan itu pula yang menjadi basis penetapan sistem proporsional terbuka di dalam UU Pemilu. Secara praksis, sistem itu pun telah dilaksanakan pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019.
Pertanyaannya, bisakah MK mengubah putusan mereka sendiri di masa lalu? Bukankah setiap putusan MK itu bersifat final dan mengikat? Barangkali para ahli tafsir hukum yang bisa menjawab; mengiyakan atau mendebat hal tersebut. Mungkin saja bisa, meskipun bagi kebanyakan awam hal tersebut rada aneh.
Namun, seandainya pun MK bisa melakukan itu, semestinya tidak menjadi soal sepanjang putusan mereka terdahulu tetap dipakai sebagai yurisprudensi yang telah diterima perihal norma yang diuji. MK tidak bisa mengabaikan hal itu, seolah-olah apa yang diperkarakan hari ini tidak punya relasi dengan perkara untuk norma yang sama di masa lalu.
Pun, MK sejatinya punya pendirian bahwa urusan sistem pemilu adalah legal policy pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR. Bukan ranah mereka untuk menentukan sistem yang mesti dipakai dalam pemilu kita. Karena, dari kacamata MK, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup, keduanya konstitusional. Maka, bila konsisten dengan pendirian itu, MK semestinya menolak gugatan atas sistem tersebut.
Namun, bila MK punya pertimbangan lain sehingga menerima permohonan judicial review atas UU Pemilu tersebut dan sistem pemilu kembali ke sistem tertutup, semestinya MK pun mengerti bahwa DPR sebagai pembuat UU memiliki kewenangan legislasi membentuk UU Pemilu yang 'baru'.
Parlemen dapat menempuh langkah legislative review, yakni mengamendemen UU Pemilu hasil judicial review MK. Hal tersebut amat mungkin dilakukan mengingat mayoritas fraksi di DPR sebelumnya sudah menyatakan tegas menolak sistem pemilu kembali menjadi tertutup. Hanya satu fraksi, PDI Perjuangan, yang justru ingin balik ke sistem tertutup.
Sangat mungkin delapan fraksi penolak sistem tertutup itu tidak akan tinggal diam jika MK memutuskan menerima gugatan yang berarti mengembalikan kita ke sistem yang tidak senapas dengan spirit demokrasi. Jika DPR pada akhirnya menempuh jalan tersebut, putusan MK yang final dan mengikat tak lagi punya makna. Bukankah itu akan membuat sang penjaga konstitusi tersebut malah kehilangan muka?
Karena itu, MK mungkin perlu mengingat lagi bahwa dalam perkara ini mereka tidak hanya berperan sebagai penjaga konstitusi, tetapi juga diharapkan menjadi penyelamat demokrasi.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
BERAGAM cara dapat dipakai rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan, mulai dari sekadar keluh kesah, pengaduan, hingga kritik sosial kepada penguasa.
MANTAN Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan mantan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto telah resmi bebas dari tahanan.
Kebijakan itu berpotensi menciptakan preseden dalam pemberantasan korupsi.
ENTAH karena terlalu banyak pekerjaan, atau justru lagi enggak ada kerjaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir puluhan juta rekening milik masyarakat.
KASUS suap proses pergantian antarwaktu (PAW) untuk kader PDI Perjuangan Harun Masiku ke kursi DPR RI masih jauh dari tutup buku alias belum tuntas.
Intoleransi dalam bentuk apa pun sesungguhnya tidak bisa dibenarkan.
KEPALA Desa ibarat etalase dalam urusan akuntabilitas dan pelayanan publik.
KONFLIK lama Thailand-Kamboja yang kembali pecah sejak Kamis (24/7) tentu saja merupakan bahaya besar.
NEGERI ini memang penuh ironi. Di saat musim hujan, banjir selalu melanda dan tidak pernah tertangani dengan tuntas. Selepas banjir, muncul kemarau.
Berbagai unsur pemerintah pun sontak berusaha mengklarifikasi keterangan dari AS soal data itu.
EKS marinir TNI-AL yang kini jadi tentara bayaran Rusia, Satria Arta Kumbara, kembali membuat sensasi.
SEJAK dahulu, koperasi oleh Mohammad Hatta dicita-citakan menjadi soko guru perekonomian Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved