Kabar Baik Penanganan Gagal Ginjal Akut

22/10/2022 05:00
Kabar Baik Penanganan Gagal Ginjal Akut
Ilustrasi MI(MI/Duta)

KABAR baik datang di tengah rentetan kabar buruk yang terus bermunculan terkait dengan kejadian gagal ginjal akut misterius yang terutama menyerang balita dan anak-anak. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, kemarin, menyebut telah menemukan obat untuk menangani pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal tersebut.

Obat yang dimaksud Menkes ialah antidotum dari Singapura. Antidotum adalah sebuah substansi yang dapat melawan reaksi peracunan. Atau pendeknya, antidotum merupakan zat yang dapat menangkal racun.

Antidotum asal Singapura itu sebelumnya sudah digunakan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk mengobati pasien gagal ginjal akut. Hasilnya positif. Sebanyak empat dari enam pasien memberikan renspons positif setelah diberikan antidotum tersebut.

Hasil itulah yang membuat Kementerian Kesehatan cukup yakin dengan keampuhan obat penawar racun itu dan langsung memutuskan akan segera mendatangkan antidotum ke Indonesia dalam jumlah cukup banyak. Seperti halnya Menkes, kita pun berharap kehadiran obat tersebut dapat memberikan perlindungan bagi balita dan anak-anak yang terpapar racun penyebab gagal ginjal.

Pada sisi ini, kita patut mengapresiasi dan mendukung langkah cepat pemerintah mendatangkan antidotum. Fakta bahwa kasus gangguan gagal ginjal akut sudah teridentifikasi di 22 provinsi dengan jumlah lebih dari 240 kasus, bahkan dengan tingkat kematian mendekati 55% secara nasional, tindakan kuratif yang cepat seperti ini memang penting dilakukan.

Dengan sandaran fakta yang sama, pemerintah semestinya bisa bertindak lebih agresif untuk menemukan penyebab pasti dari penyakit tersebut. Mengidentifikasi penyebab menjadi hal krusial sebagai dasar pertimbangan menelurkan kebijakan pencegahan yang tepat.

Namun, rupanya pemerintah gagap, tak sigap menghadapi situasi darurat itu dengan cepat. Meski kejadian gagal ginjal akut ini sudah merebak sejak awal tahun ini dan mulai meledak kasusnya pada Agustus 2022, hingga tengah Oktober pemerintah belum menemukan penyebab dan solusinya.

Namun, kemarin, kabar baik muncul. Pemerintah melalui Menkes akhirnya memastikan gagal ginjal akut di Indonesia dipicu oleh cemaran etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG) yang terkandung dalam obat-obatan sirop.

Kesimpulan tersebut didasarkan pada temuan kasus kematian anak gagal ginjal akut yang dilaporkan di RSCM. Menurut hasil analisis, pada tujuh dari 11 pasien gagal ginjal akut di RSCM positif terdapat cemaran senyawa berbahaya yang juga ditemukan pada kasus gagal ginjal di Gambia. Senyawa itulah yang diduga kuat menyebabkan ginjal anak-anak itu rusak, gagal berfungsi, dan menyebabkan kematian.

Kita patut menyambut baik kesimpulan itu karena akan menjadi landasan bagi pemerintah menentukan langkah-langkah yang lebih terarah dan fokus pada sisi pencegahan. Jika kemarin masih meraba-raba, kini pemerintah sudah punya dasar untuk melakukan tindakan lebih tegas, misalnya melarang penjualan obat-obat yang mungkin tercemar DEG dan EG demi menghindari risiko kematian terus bertambah.

Namun, gerak cepat pemerintah tak boleh berhenti di situ karena kini publik menunggu kejelasan informasi. Badan POM mesti segera menelusuri semua obat yang berpotensi mengandung senyawa-senyawa berbahaya itu.

Tarik dari peredaran, obat yang terbukti mengandung DEG dan EG, lalu sebarkan temuannya secara akurat kepada publik tanpa ada yang ditutup-tutupi. Setelah itu, pemerintah wajib menyosialisasikan dengan baik kepada masyarakat apa yang harus mereka lakukan dan siapkan sebagai pengganti obat-obatan itu.

Kiranya kesempatan ini juga bisa menjadi momentum bagi bangsa untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang selama ini terlalu gampang membeli dan mengonsumsi obat. Sekaligus mengubah kebijakan negara yang saat ini juga lepas kontrol dengan membiarkan obat-obatan dijual bebas.



Berita Lainnya