Jemput Bola Tangani Gagal Ginjal

21/10/2022 05:00
Jemput Bola Tangani Gagal Ginjal
(MI/Duta)

TEMUAN kejadian gagal ginjal akut pada anak di berbagai daerah terus bertambah. Di Aceh misalnya, bila dua hari sebelumnya Ikatan Dokter Anak (IDAI) menyebut angka 18 kasus, kemarin menjadi 26 kasus.

Jumlah kasus terbanyak masih di DKI Jakarta dengan peningkatan temuan dari 50 kasus per 18 Oktober, menjadi 71 kasus. Dengan semua laporan pertambahan kasus tersebut, jumlah total kejadian yang diduga gagal ginjal akut pada anak sangat mungkin sudah menembus 240 kasus.

Penyakit ini sudah begitu meresahkan dengan catatan persentase kematian di RSCM sebagai pusat rujukan mencapai 65%. Sebaran kasus gagal ginjal akut pada anak mencakup sedikitnya 20 provinsi. Itu sudah lebih dari separuh provinsi di Indonesia. Namun, pemerintah belum juga menetapkannya sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Penanganan terkesan lamban dan setengah-setengah. Pemerintah seperti hanya menunggu sampai penyebab definitif penyakit tersebut diketahui, baru bertindak cepat dan tegas.

Padahal, semestinya otoritas bergerak agresif menemukan kasus-kasus yang diduga gangguan ginjal lewat fasilitas-fasilitas kesehatan hingga posyandu di seluruh daerah. Itu sebabnya penetapan status KLB sangat krusial untuk memulainya.

Pola jemput bola mesti diterapkan, mengingat kebiasaan masyarakat kita yang gemar membeli dan menggunakan obat tanpa melalui anjuran petugas kesehatan. Sebarkan informasi tentang gejala penyakit gagal ginjal akut ke rumah-rumah tangga, terutama yang memiliki balita.

Tidak ada salahnya pula mewajibkan semua balita diperiksakan kondisi ginjal mereka. Bukannya hanya menunggu laporan dari rumah-rumah sakit atau puskesmas.

Jika begitu, tidak mengherankan bila tingkat kematian begitu tinggi. Ketika penderita akhirnya dibawa ke puskesmas atau dilarikan ke rumah sakit, gangguan ginjal sudah masuk stadium lanjut. Padahal, mestinya mereka bisa tertolong bila ditangani lebih dini.

Penyisiran kasus secara agresif juga akan sangat membantu mempercepat identifikasi penyebab secara akurat karena pengujian memiliki sampling yang lebih besar. Tidak hanya meraba-raba dan tebak-tebak buah manggis yang membuat kebijakan menjadi ambigu.

Lihat saja Badan POM yang mengeluarkan keputusan menarik lima produk obat berbentuk sirop yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Kedua senyawa itu diduga kuat menyebabkan kematian puluhan anak di Gambia, Afrika Barat. Mereka menderita gagal ginjal akut setelah meminum sirop obat parasetamol buatan India yang ternyata mengandung etilen glikol dan dietilen glikol.

Penarikan kelima produk sirop obat disertai catatan bahwa hasil uji Badan POM tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan sirop obat menjadi penyebab kejadian gagal ginjal akut. Bukan itu saja, Badan POM meminta produsen sirup obat yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG untuk melaporkan hasil pengujian mandiri.

Kemudian, muncul pertanyaan, apakah produsen yang bersangkutan bersedia sukarela melapor? Posisi otoritas begitu lemah karena mengandalkan kesukarelaan.

Badan POM mestinya menegakkan aturan dengan aktif memastikan tidak ada produk yang melanggar ketentuan. Jika melanggar, sanksi tegas mesti dijatuhkan, bukan sekadar menarik obat. Terlebih, bila obat itu terbukti menimbulkan kematian. Masa iya, sanksinya hanya penarikan obat?

Penanganan otoritas yang lamban dan tidak tegas masih diperparah dengan disinformasi yang berseliweran. Dalam dua hari saja, tidak kurang dari tiga daftar sirop obat yang disebut ditarik beredar liar di masyarakat.

Kementerian Kesehatan dan Badan POM kemudian sibuk membantahnya.

Oleh karena itu, perlu kiranya dibentuk satgas atau ditunjuk juru bicara agar informasi terkait gagal ginjal akut lewat satu pintu dan tidak semakin membingungkan masyarakat.



Berita Lainnya