Menimbang Pasal Penghinaan Presiden

11/7/2022 05:00
Menimbang Pasal Penghinaan Presiden
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

PASAL penghinaan terhadap presiden dihidupkan kembali dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal, pasal penghinaan itu dicabut Mahkamah Konstitusi pada 2006.

Bedanya ialah pasal penghinaan presiden yang dibatalkan MK merupakan delik biasa. Kali ini dirumuskan menjadi delik aduan. Ketentuan delik aduan ini juga berlaku bagi lembaga negara lain terkait dengan pasal tentang penghinaan.

Delik aduan maksudnya ialah presidenlah orang yang berhak mengadu sendiri atau memberikan kuasa kepada orang lain untuk melapor dugaan tindak pidana penghinaan ke kepolisian.

Persoalan pun muncul pada tafsiran teks undang-undang. Bagaimana kepolisian membedakan antara kritik, protes, atau hinaan? Tidaklah mengherankan muncul anggapan bahwa pasal itu bertujuan membatasi kebebasan berekspresi, bermaksud membungkam kritik.

Rencana menghidupkan pasal penghinaan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Penghinaan diatur dalam Pasal 218 ayat (1) RKUHP yang berbunyi setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pihak yang pro beralasan bahwa menghina, memaki, menghujat, bahkan menjelek-jelekkan presiden atau wakil presiden dengan bahasa-bahasa atau tindakan yang tidak layak sudah menjadi hal yang lazim dan mudah dijumpai di dunia nyata dan dunia maya. Karena itu, perlu ada sanksi hukum yang menjerakan.

Pada sisi lain, bagi pihak yang kontra, pasal penghinaan presiden atau wakil presiden dalam RKUHP sangat berbahaya karena dapat digunakan sebagai alat negara untuk membungkam masyarakat yang melontarkan kritikan kepada pemerintah. Pihak yang kontra trauma dengan praktik hukum masa silam yang menjadikan tukang kritik sebagai target dikriminalkan.

Pro dan kontra itu diakomodasi pemerintah dengan menambahkan penjelasan yang pada intinya kritik tidak termasuk yang dikriminalkan. Akan tetapi, tambahan penjelasan itu masih sangat normatif. Misalnya, disebutkan kritik ialah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik dan buruk kebijakan tersebut.

Disebutkan pula kritik bersifat konstruktif dan sedapatnya mungkin memberikan suatu alternatif serta solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif. Kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wakil presiden.

Terus terang, definisi kritik yang diajukan pemerintah itu tetap saja tidak memadai untuk membedakan kritik dan penghinaan. Harus jujur diakui bahwa memang tidak mudah membedakan antara kritik yang benar-benar konstruktif dan kritik yang memang ditujukan untuk menyerang atau penghinaan.

Jika penjelasan kritik dalam RKUHP tidak membuat terang benderang duduk soal, untuk apa dipaksakan pasal penghinaan masuk? Definisi yang masih abu-abu itu akan menjadikan penghinaan presiden sebagai pasal karet yang suka-suka penguasa menafsirkannya untuk mengkriminalkan tukang kritik.

Jauh lebih elok lagi bila pemimpin itu tidak tipis kuping. Contohlah Presiden Joko Widodo yang secara sadar meminta masyarakat melakukan kritik kepada pemerintah. Jika masih tipis kuping dan tidak suka dikritik, jangan menjadi pejabat.

Pejabat itu memang subjek kritik. Paragraf 83 Standar Norma dan Pengaturan Nomor 5 tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi menyebutkan para publik figur dan orang-orang dalam jabatan publik ialah subjek yang sah untuk dikritik.

KUHP warisan kolonial itu sudah saatnya direvisi dan diundangkan. Jika masih ada pasal-pasal yang tidak sesuai, terbuka kesempatan untuk diujikan ke Mahkamah Konstitusi.



Berita Lainnya