Tipu Daya Lembaga Amal

08/7/2022 00:05
Tipu Daya Lembaga Amal
(MI/Duta)

 

KASUS dugaan penyelewengan dana umat kembali mencuat. Kali ini melibatkan lembaga amal yang sudah dikenal luas di Tanah Air, Aksi Cepat Tanggap (ACT). Terungkap bahwa lembaga itu memakai dana sumbangan masyarakat untuk membiayai hidup mewah para pengurusnya.

Berdasarkan pengakuan pihak ACT, sejak 2017 hingga 2021, sebanyak 13,7% dana donasi mereka pakai untuk membiayai operasional, termasuk gaji dan tunjangan pegawai. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan pada Pasal 6 ayat (1), pembiayaan usaha pengumpulan donasi hanya boleh maksimal 10% dari dana sumbangan.

Sanksi atas pelanggaran itu, Kementerian Sosial mencabut izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang milik ATC pada 5 Juli 2022.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lantas mengungkapkan temuan transaksi mencurigakan rekening ACT. Sebagian dana mengalir ke negara-negara berisiko tinggi pendanaan terorisme.

Bahkan, ada aliran dana dari karyawan ACT ke penerima yang diketahui pernah ditangkap pemerintah Turki karena terafiliasi jaringan terorisme Al-Qaedah. Temuan-temuan tersebut telah dilaporkan ke Densus 88 Antiteror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

PPATK menyebut dana kelolaan ACT per tahunnya mencapai Rp1 triliun. Dana sumbangan masyarakat tidak sepenuhnya langsung disalurkan ke sasaran donasi. Dana itu turut dikelola dalam lingkup bisnis untuk meraup keuntungan.

PPATK mencontohkan, dalam rentang dua tahun, ada dana Rp30 miliar yang mengalir ke entitas perusahaan. Pemilik perusahaan tersebut juga ternyata terafiliasi dengan pengurus ACT.

Pengelolaan dana seperti itu melanggar Pasal 4 PP 29/1980 yang mengatur tujuh bidang kegiatan sasaran sumbangan. Pasalnya, kegiatan bisnis atau mencari laba bukan termasuk salah satunya.

Terkuaknya borok ACT menambah catatan buruk lembaga amal. Baru tahun lalu Polri mengungkap pendanaan terorisme melalui kotak-kotak amal yang disebar di banyak wilayah di Indonesia. Bedanya, ACT merupakan lembaga amal yang sudah dikenal publik.

ACT pun mengklaim kegiatan kemanusiaan mereka telah menjangkau 22 negara dari Asia Tenggara, Afrika, hingga Eropa Timur. Bukan itu saja, laporan keuangan ACT rutin diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).

Lantas, apa lagi yang mesti dicermati masyarakat agar tidak keliru memilih lembaga untuk menyalurkan donasi? Di sini ada indikasi kelalaian dalam pengawasan.

Penegak hukum harus mengusut secara tuntas tidak hanya yang menyangkut dugaan pendanaan terorisme, tetapi juga penyelewengan dana secara umum di ACT. Akuntan publik yang memberikan predikat WTP juga perlu diperiksa tentang kemungkinan ada kongkalikong dengan pihak pengurus.

Akuntan tidak bisa terus berkelit di balik pandangan bahwa predikat WTP pada laporan keuangan belum tentu menunjukkan lembaga yang bersangkutan bebas penyelewengan. Faktanya, banyak temuan kasus jual-beli predikat WTP, terutama pada perkara-perkara tindak pidana korupsi. Patut diduga, WTP itu juga untuk menutupi jejak-jejak penyelewengan.

Tidak bisa dimungkiri, kasus dugaan penyelewengan di ACT telah membuat kepercayaan publik pada lembaga-lembaga amal merosot. Ajakan untuk memberikan langsung donasi kepada penerima pun menggema.

Yang paling berat terkena dampaknya justru kelompok-kelompok sasaran bantuan. Banyak dari mereka yang akan luput dari bantuan karena donasi secara individual bakal sulit menjangkau mereka.

Kesigapan penegak hukum mengusut tuntas tipu daya lembaga amal dan ketegasan pemerintah melakukan penertiban kita nantikan. Bukan hanya di sisi lembaga amal, melainkan juga dalam hal pengawasan agar kepercayaan publik pulih kembali.



Berita Lainnya