Penyakit Kronis Ego Sektoral

11/6/2022 05:00
Penyakit Kronis Ego Sektoral
Ilustasi MI(MI/Duta)

 

PRESIDEN Joko Widodo lagi-lagi menegur keras jajarannya. Kali ini kembali tentang persoalan ego sektoral antarkementerian dan lembaga. Bermula dari kekesalan Presiden tentang lambatnya pengurusan sertifikat tanah masyarakat. Kepala Negara mencontohkan suku Bajo yang tidak kunjung memperoleh sertifikat lahan.

Penyebabnya tidak adanya komunikasi yang baik di antara kementerian-kementerian terkait. Dalam hal ini, menyangkut kerja tiga instansi; Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Presiden juga jengkel karena proses pemberian hak guna bangunan untuk lahan yang luas hingga berhektare-hektare dapat rampung dengan cepat, tetapi sebaliknya, untuk tanah dengan luas beberapa meter persegi yang notabene dimiliki masyarakat kecil tidak kunjung tuntas.

Presiden kesal proses sertifikasi tanah masyarakat berjalan begitu lambat. Sejak 2015 hingga kini, baru sekitar 46 juta warga masyarakat yang memegang sertifikat lahan milik mereka sendiri.

Jumlah sertifikat yang masih tertunggak mencapai 80 juta. Menurut Presiden, tidak mengherankan hal itu memicu konflik-konflik lahan dan penyerobotan lahan oleh mafia tanah.

Yang mengherankan, atau barangkali malah sudah bisa ditebak, tiap kali Presiden turun tangan langsung mendatangi masyarakat yang terdampak, sertifikat tanah bak sulap langsung terbit. Tanpa biaya dan tanpa waktu tunggu yang tidak pasti.

Persoalan sertifikasi lahan merupakan satu di antara banyak persoalan yang bersumber dari masih kuatnya ego sektoral tiap kementerian dan lembaga. Instansi pemerintah begitu kaku dalam berkoordinasi.

Bila ditarik lebih jauh ke belakang, persoalan serupa terus-menerus muncul mengiringi kerja birokrasi di Tanah Air. Tahun lalu, Presiden Jokowi juga mengeluhkan proyek-proyek yang tersendat akibat tidak terintegrasinya konsep pembangunan kementerian.

Misalnya, pelabuhan dan bandara hadir tanpa memiliki akses yang memadai, baik berupa jalan maupun sarana transportasi. Kita masih ingat pula kisruh bansos untuk penanganan dampak pandemi covid-19 bagi masyarakat miskin, pengusaha kecil, hingga pekerja berpendapatan rendah.

Data sasaran bansos amburadul, pemberian bantuan tumpang-tindih, dan banyak masyarakat miskin sama sekali tidak mendapatkan bantuan. Pemerintah daerah dan pusat saling lempar tanggung jawab. Itu pun masih ditambah menteri sosial ketika itu yang tanpa malu mengorupsi anggaran bansos.

Jika korupsi kita ibaratkan kanker, ego sektoral layaknya gagal ginjal yang terus-menerus memerlukan cuci darah. Keduanya sama-sama penyakit kronis yang mengorbankan kualitas kehidupan rakyat.

Meski begitu, baik korupsi maupun ego sektoral masih bisa disembuhkan. Yang diperlukan ialah langkah konkret tiap individu birokrat dan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memperbaiki koordinasi. Tanggalkan ego, saling membuka diri, sinergikan konsep pembangunan, perbaiki, dan terus-menerus selaraskan data.

Jadikan output kerja setara setiap kali Presiden turun tangan langsung sebagai standar. Jika tetap tidak becus, kita ingatkan pula kepada Presiden tentang kewenangan untuk mengganti pembantu yang tidak cakap menjalankan tugas.



Berita Lainnya