Menahan Guncangan Harga Pangan

09/6/2022 05:00
Menahan Guncangan Harga Pangan
(MI/Duta)

 

KETIKA awal ketegangan geopolitik global mulai meninggi beberapa bulan lalu, dunia mungkin masih baik-baik saja. Kalaupun ada dampaknya terhadap peningkatan harga pangan dan energi, itu masih sebatas terlihat di level perdagangan besar. Belum menyentuh level akar rumput.

Akan tetapi, kini berbeda. Sama sekali berbeda. Dunia ternyata semakin tidak baik-baik saja. Lonjakan harga pangan akibat gangguan pasokan lantaran perang Rusia-Ukraina dan efek lanjutan pandemi, saat ini sudah berdampak ke konsumen. Karena levelnya global, transmisinya pun menjangkau seluruh dunia, tidak terkecuali ke Indonesia.

Kini bahkan tidak hanya pangan yang rantai distribusinya 'berkelas' global seperti minyak goreng, kedelai, atau gandum yang harganya terkerek. Tren itu pada akhirnya 'menular' ke jenis komoditas lain yang sebetulnya tak terkait langsung dengan faktor global. Sebutlah misalnya telur, sayur mayur, bawang merah, hingga cabai, belakangan harganya ikut pula melambung tinggi.

Ada dua hal besar yang mesti diwaspadai dari gejolak harga pangan tersebut. Pertama, tentu saja dampaknya terhadap masyarakat secara langsung. Daya beli mereka yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi, kini mesti dapat gedoran lagi. Ibarat pertandingan tinju, baru saja mampu berdiri setelah dipukul KO covid-19, mereka kembali dihujani pukulan hingga sempoyongan.

Yang kedua ialah dampak terhadap perekonomian nasional. Pertanyaan besarnya, akankah kenaikan harga pangan ini pada akhirnya juga akan mengganggu proses pemulihan ekonomi yang tengah berjalan saat ini?

Boleh jadi benar. Sekarang saja, kenaikan harga sejumlah bahan pangan dan energi telah melejitkan angka inflasi. Badan Pusat Statistik pekan lalu merilis inflasi komponen bahan makanan pada Mei 2022, jika dibandingkan dengan Mei 2021, sebesar 5,93%. Ini tertinggi di antara kelompok pengeluaran lainnya. Total, komponen itu memberi andil pada inflasi Mei 2022 sebesar 0,17%.

Betul bahwa peningkatan harga pangan di Indonesia yang kemudian menaikkan inflasi itu sebagian masih dipengaruhi oleh situasi geopolitik global dan kebijakan negara lain dalam menyikapi situasi tersebut. Akan tetapi, justru di sinilah ujian sebenarnya. Seberapa cerdas pemerintah meresponsnya dan kemudian mengonversi respons itu menjadi kekuatan menghadapi ancaman krisis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tidak semua harga (pangan) bisa kita tahan. Itu benar. Namun, ada jenis komoditas lain yang penyebab kenaikan harganya bukan dipicu faktor global, tapi karena faktor-faktor lain yang sifatnya lebih lokal, seperti permainan dan manipulasi harga di jalur distribusi domestik dan lain-lain. Itu mestinya bisa diselesaikan.

Kini, seharusnya tidak boleh lagi ada dalih. Negara tidak boleh merespons santai kenaikan harga-harga pangan ini. Di samping mesti cepat menyiapkan antisipasi dampak kenaikan harga pangan yang sudah terjadi melalui pendekatan moneter dan fiskal, pemerintah juga dituntut melakukan langkah konkret untuk menurunkan harga, setidaknya untuk komoditas yang dapat diintervensi.

Publik sebenarnya berharap banyak pada Badan Pangan Nasional yang sudah hampir setahun dibentuk. Namun, harapan itu selalu menemui tembok kosong. Kita belum pernah dengar kerja besar mereka sebagai bagian dari upaya mewujudkan ketahanan pangan. Alih-alih aksi, jangan-jangan sekadar konsep pun mereka belum punya.

Lalu, kita mesti berharap kepada siapa lagi kalau lembaga yang mestinya mengurusi hal itu malah kerja berlambat-lambat, di sisi lain menteri-menteri yang mengurusi soal distribusi dan harga komoditas pangan mungkin juga sudah mengalihkan sebagian konsentrasinya untuk Pemilu 2024?



Berita Lainnya