Efektivitas Masa Kampanye

08/6/2022 05:00
Efektivitas Masa Kampanye
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah sepakat memangkas durasi masa kampanye Pemilu 2024 yang semula selama 90 hari menjadi 75 hari. Keputusan itu disampaikan kemarin oleh Ketua DPR Puan Maharani.

Masa kampanye dimulai pada November 2023 dan berakhir Februari 2024. Sementara itu, tahapan Pemilu 2024 digelar 20 bulan sebelum hari pencoblosan.

Kita harus mendukung pemangkasan masa kampanye itu demi efektivitas. Pemangkasan waktu itu juga bukti bahwa lembaga-lembaga negara belajar dari pemilu sebelumnya.

Politik identitas yang muncul sejak 2012 menghasilkan polarisasi warga masyarakat yang kian lebar saat masa kampanye yang panjang. Dengan begitu, polarisasi diharapkan tidak akan terlampau tajam dengan pemangkasan masa kampanye itu.

Memang, kita tidak naif pula bahwa upaya polarisasi bisa tetap menemukan jalannya. Perang identitas bisa saja justru semakin barbar di masa kampanye yang singkat. Meski begitu, upaya-upaya pencegahan tetap harus dilakukan, terlebih jika memang memungkinkan.

Terlebih, pemangkasan masa kampanye ialah langkah rasional dalam adaptasi transisi pandemi ke endemi. Masih adanya kasus covid-19, walau terus melandai, tetap harus disikapi dengan kehati-hatian. Wujudnya, tentu, dengan pengurangan atau penyingkatan kampanye fisik.

Sebab itu pula, telah tepat bahwa masa kampanye 75 hari itu terdiri dari 60 hari masa kampanye fisik dan 15 hari masa kampanye virtual. Dengan demikian, nanti kita akan bisa melihat pula parpol, capres, dan caleg yang paling efektif dalam memanfaatkan waktu dan membagi strategi di antara dua cara kampanye itu.

Dengan era teknologi digital sekarang ini dan tingginya konsumsi media sosial masyarakat Indonesia, peralihan kampanye dari fisik ke digital semestinya disambut gembira para peserta pemilu. Kampanye digitallah yang bisa sangat penting dalam menjaring suara.

Hal itu harus dipahami jika berkaca pada demografi pemilih pada Pemilu 2019. Saat itu pemilih usia 31-40 tahun menduduki porsi terbesar dengan jumlah 43.407.156 orang. Tempat kedua diduduki pemilih usia usia 21-30 sebanyak 42.843.792 orang. Jumlah itu sudah hampir setengah dari total 192 juta lebih pemilih pada pemilu tersebut.

Pada 2024, generasi yang akan mencapai usia kelompok 31-40 tahun dan kelompok 21-30 tahun ialah generasi milenial dan sebagian generasi Z. Generasi itu ialah pengguna internet yang sangat aktif, bahkan dapat dikatakan sebagai motor dunia medsos. Sebab itu, kampanye digital semestinya tidak hanya didukung, tetapi justru memang juga harus lebih diperjuangkan para peserta pemilu.

Di sisi lain, ketika para peserta pemilu dituntut lebih efektif berkampanye, para penyelenggara pemilu harus bisa berkinerja tinggi. Distribusi logistik, infrastruktur teknologi, dan sumber daya manusia harus siap tepat waktu dan tanpa cela.

KPU juga harus mempersiapkan skenario untuk memastikan tidak ada lagi peristiwa meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu akibat kelelahan, seperti yang terjadi pada 2019. Tanpa skenario yang baik, potensi kelelahan sangat terbuka mengingat padatnya jadwal Pemilu 2024.

Kinerja tinggi juga harus dibuktikan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkomitmen dengan masa penyelesaian sengketa pencalonan maksimal 15 hari. Kecepatan dan ketepatan penyelesaian sengketa pemilu akan menghindarkan masyarakat dari potensi kegaduhan dan perpecahan.

Dengan sudah akan dimulainya tahapan pemilu pada Juni ini, kesiapan seluruh pihak itu harus dimulai pula. Tanpa kesiapan, segala pemangkasan bukan menjadikan pemilu yang efektif, melainkan hanya pemborosan puluhan triliun rupiah uang negara.



Berita Lainnya