Pancasila dalam Perbuatan bukan dalam Perkataan

01/6/2022 05:00
Pancasila dalam Perbuatan  bukan dalam Perkataan
(Dok. MI)

 

NEGARA ini telah memperingati 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sejak 2016. Kita mafhum bahwa peringatan itu merupakan upaya kesekian pemerintah untuk terus menggaungkan ideologi Pancasila.

Kita pun mengakui bahwa negara tidak pernah kekurangan upaya formal dalam memopulerkan Pancasila. Di dunia pendidikan, pengenalan Pancasila sudah ada sejak tingkat SD. Hafalan Pancasila pun kebanyakan menancap dan bertahan sepanjang hayat. 

Meski begitu, mulusnya hafalan Pancasila, jelas bukan jaminan untuk perilaku yang Pancasilais. Ironi itu bahkan jamak di kalangan pejabat negara dan tokoh publik. Praktik korupsi ialah bentuk paling nyata tidak melekatnya Pancasila dalam perbuatan.

Indeks persepsi korupsi (IPK) global Indonesia pada 2021 menempatkan pada peringkat ke-96 dari 180 negara. Sementara itu, dari segi skor, Indonesia mendapat skor 38 dari skala 1 - 100. Skor 0 berarti negara itu sangat korup, sebaliknya skor 100 berarti sangat bersih. 

Skor Indonesia jelas tidak menggembirakan, apalagi rata-rata skor dunia ialah 43. Dengan kata lain, moral dan integritas banyak pejabat kita masih di bawah pejabat di kebanyakan negara. 

Belum lagi jika kita berbicara berbagai perilaku tercela yang bukan dalam koridor hukum. Misalnya, perangai kasar pejabat di tempat publik. Kasus demi kasus penyerangan atau perlakuan kasar pejabat terhadap orang, yang ia anggap rakyat biasa, menunjukkan bahkan nilai keberadaban pun tidak melekat menjadi karakter. 

Cacat itulah yang membuat Pancasila tampak sekadar slogan di kehidupan berbangsa. Pancasila hanya terasa manis diucapkan, tetapi sulit dijalankan. Segempita apa pun Pancasila dirayakan tetap terasa sekadar seremonial.

Tidak mengherankan, kelompok-kelompok yang berusaha menggoyang ideologi luhur itu pun tidak pernah kehabisan energi dan simpatisan. Hal itulah yang semestinya disadari seluruh elemen pejabat negara.

Pancasila sudah tidak kurang seremoni. Yang minus besar justru sosok-sosok yang melakoni Pancasila. Sosok-sosok yang benar-benar menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam perbuatan mereka. 

Bahkan ketika Pancasila terlalu diseremonialkan, degradasi nilai justru semakin besar.

Pancasila tampak sekadar dijadikan alat untuk memuluskan kekuasaan. Itu disebabkan nilai-nilainya tidak dijalankan sebagai satu kesatuan, tetapi dipecah-pecah bergantung pada kebutuhan. Contohnya ialah kampanye-kampanye toleransi, sementara di sisi lain keadilan dan kemanusiaan tidak ditegakkan setara. 

Sekali lagi, keteladanan melakoni Pancasila-lah yang saat ini paling dibutuhkan. Bukan pula melakoni setengah atau sebagian nilai, melainkan keseluruhan Pancasila, tanpa terkecuali.



Berita Lainnya