Opini Semu Auditor BPK

29/4/2022 05:00
Opini Semu Auditor BPK
(MI/Duta)

 

PRAKTIK jual-beli opini wajar tanpa pengecualian alias WTP untuk laporan keuangan kementerian dan lembaga pemerintahan masih saja terjadi. Terungkapnya kasus suap demi mendapatkan WTP untuk laporan keuangan Pemkab Bogor, Jawa Barat, membuktikan hal itu.

Bupati Bogor Ade Yasin diduga menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Jawa Barat dengan nilai total Rp1,9 miliar untuk mengondisikan hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 2021. Dengan hasil audit riil, Pemkab Bogor mendapatkan status disclaimer. Ade meminta audit direkayasa agar menjadi WTP.

KPK menduga suap kepada tim auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memuluskan audit hingga keluar opini WTP kemungkinan besar terjadi pula di kementerian atau lembaga pemerintahan lainnya di pusat ataupun daerah. Belum lagi perekayasaan laporan keuangan dengan batuan auditor BPK demi menyamarkan penyimpangan.

Jumlahnya jelas lebih banyak ketimbang yang sudah tepergok. Tidak tertutup pula kemungkinan kasus jual-beli opini WTP merupakan fenomena gunung es. Sepanjang 2005 hingga yang terbaru yang diduga melibatkan Bupati Bogor Ade Yasin, sedikitnya terdapat 9 kasus suap yang menjerat tidak kurang dari 29 pegawai. Itu termasuk kasus korupsi anggota BPK Rizal Djalil terkait hasil audit pengelolaan air minum.

Mayoritas kasus itu merupakan perkara suap untuk meraih WTP. Predikat WTP pada laporan keuangan demikian prestisius karena dianggap mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

Apalagi, ada manfaat tambahan berupa numerasi dan pengaruh predikat opini BPK terhadap besaran dana transfer keuangan daerah yang diberikan pusat. Ini membuat para kepala daerah, menteri, kepala instansi pemerintahan, dan badan usaha milik pemerintah otomatis berlomba-lomba mendapatkan opini WTP.

Mereka tidak peduli bahwa opini hasil pemeriksaan keuangan memberikan citra yang semu. WTP bukan berarti bersih dari korupsi. Tengok saja Kota Bekasi yang langganan WTP, tetapi wali kotanya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) kasus korupsi.

Demikian pula Kabupaten Kutai Kertanegara, Pubalingga, dan Provinsi Sumatra Utara. Di jajaran kementerian ada Kementerian Agama, Kementerian ESDM, Kementerian Sosial, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tidak tanggung-tanggung, di kementerian-kementerian tersebut yang terlibat korupsi ialah para menterinya.

Citra semu opini WTP semakin dikaburkan oleh tindak rasuah para auditor dan pejabat BPK. Betul, bahwa predikat WTP belum tentu tidak ada korupsi. Akan tetapi, pemeriksaan auditor bisa mendeteksi penyimpangan-penyimpangan yang terindikasi korupsi.

Undang-Undang No 5 Tahun 2006 tentang BPK menyebut lembaga itu diperlukan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Maka, wajar bila ada pengharapan opini WTP mengindikasikan tata kelola yang bersih walau tidak 100%.

BPK semestinya aktif memberikan masukan bagi penegak hukum tentang indikasi korupsi yang terbaca di laporan keuangan dan telah ditindaklanjuti dengan audit investigasi. Namun, yang terjadi, BPK lebih banyak baru bergerak melakukan audit investigasi ketika diminta. Alasannya klasik, BPK kekurangan sumber daya auditor.

Budaya kerja BPK seperti itu mesti diubah. Bila perlu, ubah pula sistem pemeriksaan dari sekadar memenuhi keabsahan prosedural menjadi verifikasi.

Kemudian, setiap kali ada kepala daerah, menteri, maupun pejabat BUMN/BUMD terjerat korupsi, penegak hukum sepatutnya turut menelusuri dari sisi auditor BPK. Langkah ini sekaligus untuk bersih-bersih.

Tanpa lembaga pemeriksa keuangan yang bersih bekerja beriringan dengan penegak hukum berintegritas, selamanya pemerintahan akan terus dirongrong perampok uang rakyat.



Berita Lainnya