Perjumpaan Jokowi dan Anies

28/4/2022 05:00
Perjumpaan Jokowi dan Anies
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

PERTEMUAN antara Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di sirkuit Formula E pada Senin (25/4) menimbulkan berbagai tafsiran politik.

Saat berkunjung itu, Presiden Jokowi berkeliling meninjau proyek pembangunan sirkuit dengan menggunakan mobil golf yang dikendarai Anies Baswedan. Foto-foto kedekatan keduanya saat perjumpaan itu ramai dibahas di media sosial.

Muncul berbagai tafsiran karena keduanya selama ini dikesankan berada pada titik poros politik berbeda. Padahal, sudah semestinya Jokowi sebagai presiden dan Anies selaku kepala daerah memperlihatkan hubungan yang harmonis di ruang publik.

Apalagi, menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Karena itu, presiden dan gubernur mestinya selalu berkoordinasi. Kepala daerah tidak boleh berjalan sendiri-sendiri karena salah satu kewajibannya ialah melaksanakan program strategis nasional.

Kunjungan ke sirkuit Formula E mestinya dianggap sebagai kepedulian Presiden Jokowi yang ingin memastikan kesiapan ajang bertaraf internasional tersebut karena membawa nama negara. Beberapa bulan sebelumnya, Jokowi juga melakukan hal yang sama menjelang ajang balap World Super Bike dan Moto-GP di Sirkut Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Terus terang, pertemuan Jokowi dengan Anies kali ini menjadi heboh karena ulah pendukung fanatik mereka. Kedua pendukung garis keras terkesan tidak terima dengan pertemuan itu. Mereka saling nyinyir, padahal tokoh yang mereka idolakan saling memberikan respek.

Para pendukung mereka pun semestinya cair karena antarelite sudah tidak ada seteru. Selama ini dunia politik kita lebih banyak berisi narasi negatif. Bahkan bukan lagi sekadar kampanye hitam, tapi sudah sampai menjurus ke fitnah.

Ironisnya, narasi negatif itu ditiupkan oleh sebagian elite politik juga. Alih-alih membangun kedewasan berpolitik di kalangan rakyat dengan bertarung ide atau gagasan, yang ada malah menebar sentimen kebencian, entah melalui isu agama ataupun ras. Polarisasi yang terjadi hingga hari ini, salah satunya getah dari hal tersebut. Tidak ada upaya serius untuk merajutnya.

Dukung-mendukung dan berbeda pilihan merupakan hal yang lumrah dalam demokrasi. Hal yang tidak wajar ialah fanatisme membabi buta sehingga menutupi nalar berkepanjangan.

Pertemuan Jokowi dengan Anies mungkin hanyalah pertemuan biasa dan wajar antara kepala negara dan kepala daerah. Yang tidak biasa ialah prasangka-prasangka negatif di kepala para pendukung fanatik mereka. Itu barangkali lantaran nalar mereka telah diselimuti kebencian yang terus dipelihara.

Sudah waktunya untuk berhenti menyebarkan narasi kebencian di antara para pendukung tokoh politik. Jika di antara para tokoh yang diidolakan itu sudah memperlihatkan kemesraan, sebagai pendukung di akar rumput mestinya menempuh jalan rekonsiliasi.

Perjumpaan Jokowi dengan Anies di sirkuit Formula E hendaknya dipandang sebagai proses pendewasaan politik yang sudah lama terbelah. Harus ada kesadaran bersama bahwa perlu kembali bersatu setelah ajang kontestasi. Demokrasi bukan untuk membelah, tapi untuk menyatukan.

Pertemuan itu juga tidak perlu ditafsirkan ke mana-mana, apalagi sebagai upaya menghentikan proses interpelasi terkait Formula E yang masih berproses di DPRD DKI Jakarta.



Berita Lainnya