Tuntut Cacat Hukum Australia

27/4/2022 05:00
Tuntut Cacat Hukum Australia
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

KEMENANGAN enam pemuda Indonesia di pengadilan banding Australia Barat, kemarin, membuktikan pelanggaran HAM Internasional memang terjadi sebelumnya.

Pada 2009, saat usia masih di bawah 18 tahun atau masih kategori anak, mereka didakwa sebagai orang dewasa dan dipenjara bersama para penjahat kakap, termasuk pedofilia.

Mereka, yang bahkan usia termudanya baru 13 tahun, mendekam hingga 5 tahun sebelum dibebaskan. Kemarin, dengan pendampingan dari kantor hukum Ken Cush & Associates, pengadilan akhirnya menyatakan mereka tidak bersalah dan membersihkan nama mereka.

Namun, selain mereka masih ada ratusan anak Indonesia lainnya yang dipenjara sebagai orang dewasa i Australia. Anak-anak ini sesungguhnya anak kor ban tipu daya jaringan penyelundup orang melalui laut.

Para anak yang kebanyakan berasal dari desa-desa miskin di bagian timur Indonesia tersebut diperkerjakan untuk membantu dapur kapal. Mereka sama sekali tidak mengetahui jika para penumpang kapal sesungguhnya ialah imigran gelap.

Meski begitu, baik polisi laut maupun jaksa tidak menggubris kesaksian itu dan tetap memproses mereka sebagai orang dewasa. Mereka juga tidak memperhitungkan keterangan meski para anak menyatakan berusia di bawah 18 tahun, baik kepada polisi, angkatan laut, maupun imigrasi. Padahal, hukum federal Australia sendiri menyatakan bahwa anakanak yang terlibat penyelundupan orang semestinya langsung dideportasi.

Proses pengadilan banding kali ini memperlihatkan begitu banyak bukti pelanggaran HAM dan terjadi di beragam level sistem hukum di sana. Metode pindai X-ray pergelangan tangan yang digunakan untuk menentukan usia seseorang sesungguhnya sudah lama dinyatakan tidak akurat. Tingkat error dari alat itu bisa mencapai 5 tahun.

Persidangan banding juga mengungkap bahwa polisi malah sengaja mengubah tahun kelahiran para anak agar sesuai dengan hasil X-ray yang salah itu. Mereka hanya mencantumkan tanggal dan bulan lahir yang sesuai pernyataan anak.

Lebih parah lagi, penuntut tetap melanjutkan proses meski kemudian imigrasi memperingatkan ketidakakuratan sistem X-ray pergelangan tangan itu. Pada kasus Hamzah Gogo, 15, dan Muhammad Maleng, 13, peringatan itu sudah diberikan sebulan sebelum vonis 5 tahun dijatuhkan.

Dengan berbagai pelanggaran berat itu, tim kuasa hukum para anak menyebutkan telah terjadi kegalalan sistem penegakan hukum di Australia.

Komisi HAM Australia pun pada 2012 menyatakan bahwa Australia melakukan berbagai pelanggaran HAM internasional terhadap para terdakwa muda dari Indonesia.

Namun, hingga kini pemerintah Australia tidak melakukan perbaikan apa pun. Atas segala pelanggaran itu, dan yang masih terus terjadi, bangsa ini harus marah.

Pemerintah Indonesia, melalui Kedubes RI di Australia, juga harus mendorong agar gugatan class action dari 122 terpidana anak di sana mendapat keadilan. Nama mereka harus dibersihkan sepenuhnya.

Gugatan class action yang dipimpin oleh Ali Yasmin, yang juga ditahan dua tahun hingga dibebaskan pada 2012, diajukan Januari tahun lalu. Namun, kuasa hukum pemerintah Australia menyatakan gugatan itu tidak jelas karena tidak menyatakan metode alternatif yang semestinya digunakan untuk menentukan umur seseorang.

Pernyataan ini melecehkan jika tidak mau disebut penghinaan. Padahal, pemerintah Australia seharusnya berkaca pada perlakuan yang diberikan oleh sistem peradilan Indonesia terhadap pemuda 14 tahun asal New South Wales tersangkut kasus narkoba di Bali. Bukan saja HAM ditegakkan dengan baik, bahkan dalam persidangan pada 2011, sang ayah diperkenankan mendampingi di pengadilan.

Sebab itu, sekali lagi kita menuntut sikap tegas pemerintah Indonesia. Australia harus memulihkan segala pelanggaran yang mereka lakukan.



Berita Lainnya