Menimbang Larangan Ekspor Minyak Goreng

25/4/2022 05:00
Menimbang Larangan Ekspor Minyak Goreng
(MI/Duta)

 

PEMERINTAH mengambil keputusan yang sangat tegas dan berani. Keputusannya ialah pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian.

Disebut sebagai keputusan yang tegas karena memperlihatkan dengan sungguh-sungguh keberpihakan pemerintah kepada kepentingan masyarakat. Meskipun demikian, harus jujur dikatakan bahwa keputusan itu terlambat karena harga minyak goreng sudah bergerak naik sejak November 2021.

Keputusan itu disebut berani karena pemerintah menolak tunduk kepada pengusaha sawit yang sudah meraih keuntungan besar-besaran dengan mengabaikan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik minyak sawit mentah.

Pemerintah diharapkan konsisten dengan keputusannya. Jangan sampai keputusan itu senasib dengan pelarangan ekspor batu bara yang hanya berumur 11 hari. Semula pemerintah melarang ekspor batu bara selama satu bulan pada Januari 2022 akibat adanya kekurangan pasokan batu bara untuk pembangkit yang memasok listrik ke PLN.

Kita percaya, sangat percaya, kali ini pemerintah kukuh dan konsisten dengan kebijakannya melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian.

Kepercayaan itu ada dasarnya. Sebab, keputusan terkait minyak goreng itu diumumkan sendiri oleh Presiden Joko Widodo pada 22 April. Presiden juga memastikan untuk terlibat mengawasinya. “Saya akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau,” kata Presiden Jokowi.

Karut-marut harga minyak goreng selama ini akibat pengawasan yang amburadul. Gonta ganti aturan tidak mampu meredam lonjakan harga. Lebih dari lima Peraturan Menteri Perdagangan diterbitkan untuk meredam gejolak kenaikan harga minyak goreng, tetapi aturan itu bak macan kertas. Keras di atas kertas lunglai berhadapan dengan pengusaha nakal.

Bukan pengusaha saja yang nakal. Ternyata pejabat pemerintah juga jauh lebih nakal lagi. Fakta itulah yang muncul tatkala Kejaksaan Agung menguak dugaan tindak pidana korupsi pemberian izin ekspor yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng sejak akhir 2021.

Diduga terjadi kongkalikong antara Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana dan tiga petinggi perusahaan minyak kelapa sawit. Mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka dan mendekam dalam tahanan.

Persoalan serius yang mesti segera dipecahkan saat ini ialah menjamin pasokan minyak goreng dengan harga terjangkau oleh masyarakat. Faktanya, hingga pekan lalu, harga minyak goreng masih membubung tinggi. Pangkal soalnya ialah disparitas harga yang tinggi antara minyak goreng kemasan dan curah di pasar memunculkan celah penyelewengan dari hulu ke hilir.

Sejak program minyak goreng bersubsidi digulirkan dalam sebulan terakhir, ditemukan beberapa indikasi pelanggaran berupa pengemasan ulang minyak goreng curah serta monopoli distribusi untuk membentuk harga jual di atas Rp14.000 per liter.

Harga minyak goreng curah yang seharusnya Rp15.500 per kilogram atau Rp14.000 per liter, di sejumlah provinsi dijual di atas Rp20 ribu per liter. Bahkan, pada Jumat (22/4), berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga minyak goreng harian di pasar modern Maluku Utara menjadi yang termahal se-Indonesia dengan harga jual Rp41 ribu per kilogram.

Jika harga minyak goreng tetap tidak terkendali, jangan-jangan bukan kebijakannya yang salah, tapi penanggung jawabnya yang tidak punya kapasitas sehingga perlu dicopot.



Berita Lainnya