Mengantisipasi Gejolak Pangan

14/4/2022 05:00
Mengantisipasi Gejolak Pangan
(MI/Duta)

 

INVASI Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari tidak hanya menyebabkan ribuan orang terbunuh dan mengungsi. Dampak konflik itu pun sangat mungkin semakin parah bagi dunia, termasuk kita tentu saja, karena proses perdamaian menemui jalan buntu.

Pernyatan Presiden Rusia Vladimir Putin baru-baru ini, yang menyebut sulit mengakhiri konflik dengan damai, akan mengganggu rantai pasokan sejumlah komoditas pertanian dan energi. Sebab, negara produsen bakal lebih mengutamakan kebutuhan dalam negeri mereka.

Apalagi, Ukraina dan Rusia merupakan negara pengekspor komoditas utama pangan dunia, seperti gandum, jagung, kedelai, bahkan pupuk. Konflik di antara keduanya otomatis melambungkan harga pangan di tengah pandemi, cuaca ekstrem, devaluasi mata uang, dan kendala fiskal.

Inilah yang dikhawatirkan masyarakat internasional. Semua negara, termasuk Indonesia, harus mengantisipasi hal itu dengan menyediakan stok untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Selama ini, sebagai negara agraris, kita justru sering tergagap soal pangan.

Sering kali kita mendengar peternak unggas, baik petelur maupun pedaging, tidak berdaya menghadapi harga pakan yang melambung tinggi. Begitu juga petani yang kesulitan mendapatkan pupuk dan menghadapi serbuan produk luar. Terbaru, masyarakat dipusingkan dengan komoditas minyak goreng yang langka dan mahal.

Ini tentu menjadi tugas para stakeholder, terutama Badan Pangan Nasional, yang baru saja dibentuk pemerintah. Selain butuh nyali ekstra untuk memberantas mafia, pemerintah harus memiliki terobosan dalam memitigasi potensi gejolak sejumlah harga bahan pokok.

Gejolak diyakini tidak akan berakhir pada Idul Fitri. Harga pangan bakal terus melambung seiring berlarutnya konflik Rusia-Ukraina dan pandemi covid-19 yang belum sepenuhnya rampung. Setiap negara tentu bakal mementingkan kebutuhan mereka sehingga rantai pasok gandum dunia, misalnya, bakal terganggu dan membuat harganya makin melambung.

Begitu pula dengan harga pupuk. Sebagai eksportir pupuk dan bahan baku pupuk terbesar dunia, Rusia tentunya bakal kesulitan memasok. Harga pupuk di pasar internasional pun diyakini bakal melonjak. Pupuk yang mahal dan pasokan terbatas akan menurunkan daya produksi petani.

Untuk jangka panjang, pemerintah perlu menata ulang secara fundamental bidang pertanian, mulai dari produksi pupuk, pakan, maupun pangan yang berbasis produk dalam negeri. Kita sedapat mungkin mesti mengurangi ketergantungan pada produk impor.

Kelapa sawit, misalnya, dengan varian produk turunannya harus bisa diberdayakan untuk produksi pupuk, pakan, dan pangan yang murah. Jangan semata untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional demi meraup cuan besar. Ini menjadi tugas para stakeholder, juga para akademisi di bidang pertanian, untuk memikirkannya.

Ke depan, selain transformasi dan diversifikasi di bidang pangan, pemerintah, swasta, maupun dunia internasional perlu bekerja sama membangun sistem produksi yang lebih produktif untuk memastikan ketahanan pangan dan gizi masyarakat. Apalagi tantangan semakin kompleks, tidak hanya risiko krisis ekonomi atau konflik politik, tapi juga perubahan iklim yang kian parah.

Dunia tidak sedang baik-baik saja. Kita pun kena imbasnya. Ketika pandemi belum sepenuhnya sirna, ketika perang antara Rusia dan Ukraina tidak akan usai dalam waktu dekat, mitigasi dan antisipasi atas dampaknya menjadi keharusan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui pula bahwa tantangan dan ancaman yang kini dihadapi masyarakat bukan lagi soal pandemi covid-19, melainkan kenaikan harga pangan dan energi. Karena itu, penguatan ketahanan pangan harus terus dilakukan.

 



Berita Lainnya