Fokus Kerja

07/4/2022 05:00
Fokus Kerja
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

ADA dua hal menarik dan patut dicermati saat Presiden Joko Widodo memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara yang disiarkan di kanal Youtube Sekretariat Presiden, kemarin.

Pertama, dia menegaskan kepada para menterinya untuk tidak lagi membahas hal-hal terkait penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Selain itu, ia juga menyentil dua pembantunya, terutama Menteri Perdagangan dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, terkait kenaikan harga minyak goreng dan BBM, khususnya pertamax.

Harus diakui dalam beberapa bulan terakhir ruang publik dibuat gaduh dengan persoalan tersebut. Belum lagi perkara minyak goreng dan wacana penundaan pemilu reda, harga BBM khususnya jenis pertamax melambung.

Kenaikan harganya lumayan drastis, dari sebelumnya Rp9.000 menjadi Rp12.500 per liter. Kenaikan harga ini tentu kian memberatkan masyarakat yang ekonominya masih morat-marit akibat pandemi. Wajar jika sebagian dari mereka menjerit.

Perkara kenaikan harga sebetulnya hal yang lumrah, apalagi jika itu merupakan bagian dari komoditas global. Untuk BBM dan minyak goreng, misalnya, persoalan harga salah satunya terkait dengan fluktuasi harga minyak dan sawit di tingkat internasional. Sayangnya, mereka yang bertanggung jawab mengurus kedua bidang tersebut tidak menjelaskan itu kepada masyarakat, apalagi dengan bahasa yang mudah dimengerti awam.

Wajar jika kiranya Presiden Jokowi marah-marah kepada para pembantunya ini, terutama Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri ESDM Arifin Tasrif.

Mereka dinilai tidak bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang situasi terkini komoditas pangan dan energi, baik di lingkup nasional maupun global. Padahal, menurut Jokowi, langkah tersebut sangat krusial di tengah lonjakan harga berbagai komoditas strategis saat ini, yang kemudian berimplikasi langsung terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Apa yang disampaikan Presiden bukan mengada-ada atau mau mencari kambing hitam. Dalam konteks demokrasi, peran komunikasi publik memang seharusnya dijalankan pejabat publik karena merekalah yang paling mengerti tentang kebijakan yang dibuat dan bertanggung jawab untuk membangun dialog dengan masyarakat. Terkait pangan dan energi, Menteri Perdagangan dan Menteri ESDM-lah yang paling kompeten menjelaskan, bukan bawahannya apalagi menyerahkan tugas itu kepada para influencer, misalnya.

Jika pejabat publik, apalagi setingkat menteri, bersikap pasif, hal itu dapat menimbulkan anggapan di masyarakat bahwa mereka tidak mampu membangun komunikasi kepada publik. Atau jangan-jangan memang tidak becus mengurus tugas yang diembannya. Presiden bahkan menganggap menteri-menteri tersebut kurang memiliki empati kepada masyarakat yang sangat kesulitan karena naiknya harga bahan-bahan pokok. Mereka dinilai tidak memiliki sense of crisis sehingga bekerja seperti biasa-biasa saja, bahkan tidak ada statement perihal kenaikan harga dua komoditas tersebut.

Seorang pejabat publik, apalagi menteri, semestinya bisa memahami dan mengerti apa yang dirasakan dan dibutuhkan masyarakat. Jangan sampai publik merasa diabaikan sehingga tidak puas dan menganggap pemerintah tidak pernah melakukan apa pun untuk membantu mereka. Sebagai pembantu presiden, para menteri harus menjadi corong terdepan untuk menjelaskan di balik setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Apa gunanya presiden mengangkat mereka sebagai pembantu jika apa-apa ia harus turun langsung menjelaskannya kepada masyarakat.

Lucunya, selain ada menteri yang bersikap pasif, di sisi lain ada pejabat publik lain yang justru kelewat aktif. Bahkan, mereka ikut-ikutan mengapungkan wacana penundaan pemilu yang justru bukan bagian dari tugas dan wewenang utamanya.

Ketimbang mengurusi hal tersebut, lebih baik mereka mengerjakan tugas-tugas yang jauh lebih penting, seperti mengendalikan ketersediaan dan harga komoditas yang mengalami lonjakan dan rentan menimbulkan gejolak di masyarakat. Fokus saja bekerja sesuai bidang masing-masing, jangan semua hal mau diurus.



Berita Lainnya