Memukul Kartel Minyak Goreng

30/3/2022 05:00
Memukul Kartel Minyak Goreng
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

TEMUAN satu alat bukti atas dugaan kartel minyak goreng memang kabar baik meski tidak mengagetkan. Temuan itu diungkapkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dua hari lalu, yang merupakan hasil investigasi mereka sejak Januari silam.

Satu alat bukti telah cukup membawa proses penegakan hukum soal dugaan kartel naik ke proses penyelidikan. Kita mengapresiasi kerja KPPU dan proses penegakan hukum mestinya berujung ke penuntutan. Itu merupakan hasil wajar dan, bahkan minimal, sebab kejanggalan pasokan sangat mudah dirasakan orang awam sekalipun.

Minyak goreng kemasan tiba-tiba saja serempak langka begitu ada penetapan harga eceran tertinggi (HET) melalui Permendag 6/2022 pada 26 Januari lalu. Peraturan itu membuat harga minyak goreng kemasan premium yang melonjak ke Rp24.000 per liter sejak November 2021 harus turun ke HET Rp14.000 per liter. Adapun minyak goreng kemasan sederhana menjadi Rp13.500 per liter dan minyak goreng curah Rp11.500 per liter.

Alasan panen yang turun hingga distribusi yang terganggu akibat berkurangnya jumlah kapal sangat sulit diterima akal. Terlebih, kenyataannya, kepolisian menemukan penimbunan jutaan kilogram minyak goreng di sejumlah daerah.

Aroma kartel makin kuat karena begitu pemerintah mencabut HET minyak goreng kemasan pada 19 Maret 2022, pasokan di pasar langsung melimpah. Padahal, sebelumnya agen dan jaringan ritel berkali-kali mengatakan harus menunggu lama untuk pasokan minyak goreng.

Fakta itu menyiratkan adanya kongkalikong di antara para produsen untuk menahan stok, yang berarti melanggar Pasal 11 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Investigasi KPPU juga melihat permainan stok itu menjurus ke praktik permainan harga, yang berarti melanggar Pasal 5 undang-undang yang sama.

Investigasi kartel minyak goreng bahkan semestinya diperluas lagi pada pemenuhan pasokan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam negeri. Sejak 27 Januari 2022, Kementerian Perdagangan juga menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).

Kebijakan baru tersebut mengamanatkan para eksportir minyak sawit untuk memasok ke dalam negeri sebesar 30% dari total volume ekspor CPO dan turunannya. Angka itu naik dari kewajiban 20% sebelumnya.

Namun, nyatanya pasokan bahan baku ke pabrik-pabrik minyak curah masih minim. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan setidaknya 25% dari total kapasitas produksi industri minyak goreng curah tidak berjalan akibat kurangnya pasokan CPO. Pasokan CPO di hulu ditengarai banyak, tapi para eksportir sawit enggan menggelontorkan ke pasar domestik dengan harga Rp9.300 per kilogram.

Dugaan itu harus juga diinvestigasi serius. Jika terbukti, inilah senyatanya pembangkangan industri sawit akan ketahanan pangan dalam negeri.

Raksasa-raksasa perkebunan sawit, yang sekaligus juga menguasai produksi minyak goreng Tanah Air, enggan mendukung tugas pemerintah dalam menjamin pasokan dan harga pangan. Berbagai keberpihakan yang telah diberikan pemerintah, mulai dari konsesi hutan sampai pencabutan HET untuk minyak goreng kemasan, tidak juga membuat mereka mementingkan pasokan dalam negeri.

Jika demikian, bukan saja penegakan hukum atas pelanggaran persaingan usaha yang harus ditegakkan, izin konsesi pun harus ditinjau ulang. Sebab, sudah tidak dapat dimungkiri, keberpihakan kita pada industri sawit membawa konsekuensi lingkungan yang besar. Bukan saja rakus air, alih fungsi lahan menjadi kebun sawit berarti harga ekosistem harus dibayar mahal dan panjang.

Nyatanya, harga itu tidak juga mendukung kestabilan pangan pokok dalam negeri. Maka, sudah saatnya pemerintah bersikap lebih keras dan tegas kepada raksasa industri sawit.

Sebaliknya, sudah saatnya pula pemerintah merangkul para petani sawit. Pembinaan dan perbaikan segala lini produksi dan manajemen mereka sesungguhnya yang akan lebih menjamin ketahanan pangan kita.



Berita Lainnya