Mencegah Predator Digital

16/3/2022 05:00
Mencegah Predator Digital
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

DUA tahun masa pandemi covid-19 telah membawa kesadaran baru soal pentingnya akses digital. Ketika tatap muka langsung harus dihindari, interaksi daring menjadi solusi.

Kini, saat manusia sudah bisa berdamai dengan virus korona, urgensi akses digital tetap diutamakan. Nyatanya terjangan era digital lebih kuat dari terjangan pandemi. Di saat pandemi bisa direm dengan vaksin, era digital tidak bisa diperlambat. Perkembangan digital telah menjadi roda dunia yang menentukan seberapa cepat perubahan kehidupan.

Bahkan, Global Talent Trend 2022 dari hasil riset LinkedIn menunjukkan bahwa pengaruh teknologi digital pada perubahan cara kerja manusia lebih besar daripada pengaruh perubahan iklim. Terobosan teknologi disebutkan menjadi kekuatan perubahan terbesar. Adapun kelangkaan sumber daya dan perubahan iklim berada di tempat kedua. Setelah itu, kekuatan ketiga terbesar ialah peta kekuatan ekonomi global, dan kemudian pergeseran demografi.

Terobosan teknologi tak terelakkan memengaruhi bursa kerja. Randstad Foresight 2021 menyebut 9 in-demand skill yang akan memenuhi bursa lowongan kerja ini termasuk artificial intelligence (AI), virtual and augmented reality, keamanan siber, cloud computing, blockchain, data science, hingga otomatisasi proses robotik. Ini artinya, tanpa literasi digital, angkatan kerja kita bisa tidak terpakai.

Bagi negara dengan surplus demografi besar seperti Indonesia, hal itu adalah petaka. Persentase usia produktif (15-64 tahun) menurut Sensus Penduduk 2020 mencapai angka 70,72%. Tanpa literasi digital, angkatan kerja itu bisa berujung pada pengangguran tinggi. Jika sudah demikian, problem kesejahteraan, kesehatan, hingga kriminalitas akan meningkat.

Para pakar telah lama memberikan dua rumus untuk menghindari kutukan era teknologi. Jawabnya adalah infrastruktur teknologi dan pendidikan. Keduanya harus berbarengan.

Saat ini pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika menggenjot pemerataan akses digital, khususnya di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Lewat Bakti Kominfo program Merdeka Sinyal 2024, dapat dijangkau 15.559 titik akses internet, termasuk juga pembangunan 2.401 BTS. Keberadaan akses itu amat penting bukan saja bagi dunia pendidikan, tetapi juga menjadi motor kemajuan bagi UMKM, pariwisata, hingga layanan kesehatan.

Namun, pemerataan akses digital belum tentu menaikkan human capital index (HCI) kita, apalagi membuat Indonesia menjadi pemain di kancah global. HCI keluaran Bank Dunia menyebut HCI Indonesia berada di angka 0,54 atau berada di bawah Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Singapura yang memiliki HCI di atas 0,6.

Dengan kata lain, tanpa pendidikan, pemerataan akses digital bisa jadi hanya menaikkan konsumsi kuota internet masyarakat. Dampak lebih buruknya, masyarakat bisa menjadi sasaran empuk berbagai predator era digital. Ini mulai dari predator keuangan ilegal, human traficking, hingga predator judi online berkedok robot trading seperti yang marak belakangan ini.

Semua itu bisa terjadi karena masyarakat Indonesia ibarat bocah naif di tengah belantara digital. Akses sudah semakin mudah, sementara rambu-rambu pengaman belum tersedia.

Sebab itulah, tiga isu prioritas yang diangkat Indonesia di Digital Economy Working Group (DEWG) dalam Presidensi G-20 ini sangatlah tepat. Ketiga isu prioritas itu ialah connectivity and post covid-19 recovery, digital skills and digital literacy, serta cross border data flow and data flow with trust.

Pengerucutan tiga isu prioritas itu adalah wujud riil slogan Recover together, recover stronger yang digaungkan Indonesia. Sebab, tanpa ketiganya dijadikan isu terkait, pemulihan pascapandemi tidak akan berjalan serentak dan kuat.

Ketimpangan dunia justru bisa semakin besar karena negara-negara tidak memiliki kode etik yang sama dalam perkembangan era digital. Literasi dan digital ethics menjadi faktor tidak terpisahkan untuk mencegah para predator digital.



Berita Lainnya