Menunggu Presiden Atasi Minyak Goreng

15/3/2022 05:00
Menunggu Presiden Atasi Minyak Goreng
(MI/Seno)

KETIKA menteri tidak kunjung berhasil mengurai benang kusut minyak goreng, Presiden pasti turun tangan. Hampir enam bulan terakhir minyak goreng bermasalah. Mulai dari persoalan harga yang naik melambung hingga pasokan langka di pasaran.

Perintah Presiden Joko Widodo pada 3 Januari 2022 sangat tegas. “Saya perintahkan Menteri Perdagangan untuk menjamin stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri. Sekali lagi, prioritas utama pemerintah adalah kebutuhan rakyat,” kata Presiden.

Berbagai kebijakan sudah diambil kementerian teknis, tapi minyak goreng tetap saja bermasalah. Karena itulah, Presiden Jokowi segera memutuskan langkah-langkah yang hendak diambil pemerintah dalam waktu dekat.

Kepastian Presiden turun tangan mengatasi persoalan minyak goreng telah disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada Minggu (13/3). Kepala Negara segera mengadakan rapat bersama jajarannya untuk memutuskan persoalan terkait minyak goreng.

Kenaikan harga minyak goreng sesungguhnya telah terjadi sejak November 2021. Harga minyak goreng kemasan bermerek sempat naik hingga Rp24.000 per liter. Di akhir Januari 2022, pemerintah pun mematok kebijakan satu harga untuk minyak goreng, tapi ternyata pasokannya menjadi langka.

Sebuah ironi di negara nomor satu penghasil minyak sawit mentah (CPO) dunia. Rakyat pun harus antre, berdesakan, dan menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) pemerintah Rp14.000 per liter.

Fenomena antre dalam seminggu terakhir umum terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan telah memakan korban jiwa, seorang ibu dengan riwayat asma meninggal dunia pada Sabtu (12/3) saat antre minyak goreng di Berau, Kalimantan Timur.

Perlu berapa korban jiwa lagi agar para pejabat bisa tangkas dan tanggap untuk menyudahi persoalan ini? Menteri Perdagangan M Luthfi harusnya mencari cara terbaik, membuat terobosan. Ketika kebijakannya majal, mestinya dicarikan jalan keluarnya.

Sesungguhnya tidak perlu waktu berbulan-bulan untuk membereskan hal ini. Pejabat jangan hanya bisa berkata 'heran' dan mengambinghitamkan rakyatnya. Ambil langkah. Jika produksinya minim, dorong produsen. Begitu juga jika distribusinya tersendat, hilangkan hambatannya.

Banyak pihak menyoroti bahwa biang persoalan ini karena CPO dari Indonesia lari ke luar negeri akibat melambungnya harga di pasar global. Kebijakan domestic market obligation (DMO) sebesar 20% dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Konsumsi minyak sawit tahun lalu mencapai 15,4 juta menurut Index Mundi. Bahkan, data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut angka 18,4 juta ton. Adapun produksi CPO hanya 46,88 juta ton. Artinya, pasokan dari kewajiban DMO 20% hanya 9,2 juta ton, jauh di bawah konsumsi nasional.

Ketika harga CPO di pasar global jauh lebih menguntungkan, maka kebutuhan dalam negeri menjadi terbengkalai. Para produsen CPO lebih memilih menjual ke pasar global daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Karena itulah, langkah untuk menaikkan DMO menjadi 30% menjadi angin segar demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jika pada 2022 ini produksi total CPO nasional ditargetkan sebesar 54,7 juta ton maka 16,4 juta ton minyak sawit wajib dipasok untuk kebutuhan dalam negeri.

Akan tetapi, dampak penaikan DMO mungkin tidak bisa langsung atau instan membenahi pasokan minyak goreng di masyarakat saat ini. Perlu ada langkah jangka pendek demi menyudahi kesengkarutan tata niaga minyak goreng untuk rakyat saat ini juga. Misalnya, membereskan penyebab kelangkaan minyak goreng yang diakibatkan oleh masalah distribusi, juga adanya penyelundupan, baik dijual ke luar negeri maupun ke pasar industri.

Masyarakat menunggu langkah yang segera diambil Presiden Jokowi.



Berita Lainnya