Kini Giliran Tahu dan Tempe

23/2/2022 05:00
Kini Giliran Tahu dan Tempe
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

NASIB rakyat di negeri ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah menghadapi pukulan ekonomi akibat pandemi covid-19 yang menggerus kelayakan hidup, kini rakyat menghadapi persoalan mahal dan langka kebutuhan sehari-hari.

Belum reda kontroversi harga minyak goreng mahal dan langka. Kini muncul lagi persoalan baru, yakni mahalnya harga kedelai yang merupakan bahan baku utama tempe dan tahu, dua jenis makanan yang sangat akrab dengan rakyat.

Persoalan kedelai benar-benar memukul perajin tempe dan tahu di sejumlah sentra produksi. Harga kedelai saat ini berkisar Rp11.200-Rp11.500 per kilogram atau melonjak dari sebelumnya Rp9.000.

Akibat melonjaknya harga kedelai, perajin tempe dan tahu di sejumlah daerah pun kompak menyetop produksi. Kondisi ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena bakal mematikan penghidupan mereka dan juga petani kedelai. Pemerintah perlu mencarikan solusi secepatnya.

Solusi jangka pendek salah satunya dengan subsidi. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu merealisasikan janji swasembada kedelai. Karena itu, harus dibuatkan peta jalan kedelai lokal agar terus meningkat produksinya dan perlahan mengurangi ketergantungan Indonesia pada kedelai impor.

Pemerintah perlu mengawasi dan mengintervensi perdagangan kedelai di Tanah Air, seperti halnya juga pada tata niaga sawit yang menjadi bahan baku minyak goreng. Kedua komoditas ini harus tersedia, termasuk bahan bakunya dengan harga terjangkau.

Meningkatnya harga kedelai impor yang berimbas pada produksi tahu dan tempe merupakan persoalan berulang tiap tahun. Alasan yang disodorkan sama saja setiap tahun, bahwa kenaikan harga kedelai impor seiring dengan harga kedelai global yang mengalami peningkatan. Kenaikan harga kedelai di pasar global disebabkan adanya gangguan suplai, pengaruh cuaca, kenaikan biaya lahan, dan pengurangan tenaga kerja.

Betul, naiknya harga kedelai dan minyak sawit tidak terlepas dari melonjaknya harga kedua komoditas itu di pasar internasional. Namun, yang perlu dipikirkan saat ini dan ke depan ialah keberpihakan lebih pemerintah untuk melindungi petani dalam negeri dan juga kebutuhan masyarakat.

Soal kualitas kedelai lokal yang dianggap tidak bagus dan sulit bersaing dengan kedelai impor, itu tidak bisa jadi alasan untuk terus-menerus bergantung pada produksi negara lain. Justru yang harus dicarikan solusinya ialah bagaimana meningkatkan mutu produksi kedelai dan juga sejumlah komoditas dalam negeri lainnya agar bisa bersaing, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Di sini perlu kepedulian para stakeholder yang mengurus perkara pangan dari hulu hingga hilir. Persoalan ini tentu bukan semata menjadi tugas kementerian teknis. Perlu juga dukungan dari perbankan. Kredit untuk petani, misalnya, jangan cuma bagus pada tataran kebijakan, tapi jauh dari implementasinya di lapangan.

Memang saat ini perekonomian kian terhubung. Rantai pasok pun bisa dari mana saja, termasuk dari negara lain. Namun, tetap harus ada kebijakan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kemandirian pangan sehingga tidak melulu bergantung pada pasokan negara lain. Apalagi, ancaman perubahan iklim kian nyata, yang membuat cuaca semakin tidak menentu sehingga memengaruhi sektor pertanian.

Tidak kalah pentingnya ialah adanya upaya pengawasan lebih serius dari pihak terkait dalam hal tata niaga komoditas tersebut. Jangan sampai ada pihak-pihak yang ingin memonopoli. Aparat terkait, terutama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), harus berani menindak tegas mereka yang berlaku culas, apalagi berupaya membangun kartel.

Selain ancaman dari produk komoditas luar negeri, petani juga harus dilindungi dari praktik-praktik lintah darat maupun para makelar dan mafia pangan. Selama itu tidak dilakukan, jangan harap bangsa ini bisa menciptakan kemandirian pangan.



Berita Lainnya