Bijak, Berpihak kepada Pekerja

17/2/2022 05:00
Bijak, Berpihak kepada Pekerja
(MI/Duta)

 

 

KEBIJAKAN yang baik sekali pun tanpa didahului diskusi publik selalu menuai kontroversi. Begitu juga nasib program Jaminan Hari Tua (JHT) yang kembali ke tujuan awal, sebagai tabungan memasuki usia pensiun, ramai-ramai diprotes buruh.

Program JHT diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tertanggal 2 Februari 2022. Permenaker itu menetapkan pekerja peserta program JHT yang mengundurkan diri atau pekerja yang terkena PHK baru akan mendapatkan tabungan JHT saat berusia 56 tahun.

Para buruh ramai-ramai berunjuk rasa, kemarin. Mereka protes karena merasa tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan itu. Mereka menolak kebijakan yang dinilai sepihak dari pemerintah.

Menaker Ida Fauziyah berdalih kebijakan itu bertujuan mengembalikan fungsi JHT sebagai dana yang dipersiapkan agar pekerja pada masa tuanya memiliki harta sebagai biaya hidup pada masa sudah tidak produktif lagi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Buruh memang membutuhkan jaminan hari tua. Namun, mereka pun sangat membutuhkan jaminan hidup di masa kini. Aturan baru tersebut, dari perspektif pekerja, jelas merugikan mereka. Terlebih di masa pandemi covid-19, buruh semakin rentan menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pekerja khawatir, pada saat mengalami PHK, pesangon yang mereka terima tidak cukup untuk melanjutkan hidup. Di sisi lain, pemerintah beralasan, sudah waktunya JHT dikembalikan ke fungsinya sebagai tabungan hari tua. Alasan pemerintah cukup rasional karena mulai 22 Februari 2022 akan resmi berlaku program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menyusul terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Iming-iming pemberlakuan JKP belum berhasil meredakan keresahan pekerja. Bagi mereka, bentuk dan efektivitas JKP belum je las. Apalagi prog ram JKP hanya didedikasikan bagi pekerja korban PHK. 

Bagaimana dengan pekerja yang mengundurkan diri atau pensiun dini? Permenaker 19/2015 yang digantikan Permenaker 2/2022 justru membolehkan pekerja yang mengundurkan diri atau terkena PHK mencairkan JHT secara tunai.

Pada titik inilah pemerintah hendaknya membuka diri untuk berdiskusi dengan para buruh. Jika dirasakan kebijakan itu perlu direvisi, jangan pernah ragu-ragu untuk melakukannya sekalipun regulasi itu baru seumur jagung.

Elok nian bila setiap kebijakan pemerintah, termasuk penyusunan kebijakan terkait dengan JHT, melibatkan partisipasi pekerja. Kiranya masukan pekerja perlu didengar dan dipertimbangkan. Harus ada keberanian pemerintah untuk menjelaskan tindak lanjut masukan pekerja, termasuk alasan bila masukan mereka ditolak.

Jauh lebih penting ialah pemerintah transparan atas pengelolaan dana milik 30 juta lebih pekerja di Indonesia tersebut. Jangan sampai muncul anggapan bahwa dana itu dipakai untuk keperluan di luar kepentingan pekerja.

Dugaan itu masuk akal karena saat ini Kejaksaan Agung tengah mengusut dugaan korupsi pengelolaan dana investasi perusahaan BPJS Ketenagakerjaan. Para pekerja juga perlu informasi yang terang benderang terkait dengan kasus korupsi dengan potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp20 triliun itu.

Kita percaya Menaker Ida Fauziyah mampu menyelesaikan kekisruhan terkait dengan kebijakan program JHT. Kekisruhan itu harus diselesaikan secara bijak dan berpihak kepada pekerja melalui komunikasi terbuka.



Berita Lainnya