Tahapan Penentu Kualitas Pemilu

15/2/2022 05:00
Tahapan Penentu Kualitas Pemilu
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

 

UJI kelayakan dan kepatutan calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dimulai kemarin hingga besok di Komisi II DPR RI. Inilah proses yang sangat menentukan kualitas penyelenggaraan pemilu dan pilkada pada 2024.

Total ada 24 nama, yakni 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu yang akan diuji. Hampir semua nama itu pernah menjabat di KPU ataupun Bawaslu, bahkan banyak pula yang masih menjabat.

Di jajaran calon anggota KPU hanya dua nama yang tidak memiliki rekam jejak jabatan di lembaga KPU mana pun, yakni August Mellaz yang merupakan Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi serta Muchamad Ali Safa’at yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Demikian pula di daftar calon anggota Bawaslu, hanya dua nama yang belum memiliki sejarah di Bawaslu, yakni Andi Tenri Sompa yang merupakan dosen di Universitas Lambung Mangkurat dan Aditya Perdana yang merupakan Direktur Puskapol FISIP Universitas Indonesia.

Dengan para calon yang sarat pengalaman ataupun merupakan akademisi matang, DPR ibarat dihadapkan pada menu lengkap. Semua kualitas tersedia.

Maka soal menentukan yang terbaik hanyalah bergantung pada kejelian DPR membaca tantangan yang ada pada Pemilu 2024. Tantangan itu tentunya tidak hanya menyelesaikan pekerjaan rumah dari pemilu-pemilu lalu, tetapi juga akibat segala fenomena global yang terjadi belakangan ini.

Soal kelemahan pemilu lalu, tingginya surat suara tidak sah, dan lamanya pengumuman hasil pemilu menjadi persoalan tidak sepele. Pada Pemilu 2019, di Jawa Barat saja terdapat 648.065 surat suara tidak sah pilpres, 2.970.984 pemilu DPR, dan 3.659.012 pemilu DPRD provinsi. Pengumuman hasil pemilu yang membutuhkan waktu 34 hari kian menambah suburnya hoaks yang berpotensi memecah belah bangsa.

Berbagai persoalan pada pemilu lalu juga tidak dimungkiri bila dipengaruhi juga dengan pasal-pasal dalam UU Pemilu dan Pilkada yang multitafsir sehingga membuat tahapan penyelenggaraan rentan dipersoalkan. Namun, tentunya kita membutuhkan anggota-anggota KPU yang tidak hanya terjebak berkutat pada permasalahan makro, tetapi juga memiliki strategi inovatif yang bisa segera diterapkan lembaganya dan tentunya menyentuh masalah-masalah mikro tadi. Ini termasuk berbagai hal teknis mendasar, seperti SDM, jaringan teknologi informasi, hingga masalah distribusi ke berbagai daerah pelosok di seluruh negeri.

Bahkan, strategi atas hal-hal mikro mestinya menjadi poin penting bagi para calon yang telah memiliki rekam jejak di KPU dan Bawaslu. Ketidakmampuan memberikan solusi nyata mesti jadi petunjuk bagi Komisi II DPR RI akan inkompetensi calon terhadap permasalahan yang lalu dan yang akan datang.

Lebih jauh lagi, strategi yang dipaparkan mestinya mampu juga membaca potensi tantangan pandemi, bencana alam, perubahan iklim, hingga kejahatan dan serangan digital, terutama terkait dengan bigdata. Maka calon yang dipilih semestinya yang juga mampu menawarkan strategi visioner dalam menghadapi semua tantangan itu.

Tidak kalah penting, Komisi II DPR hendaknya juga memperhitungkan keterwakilan perempuan minimal 30%. Saat ini dari 24 calon anggota KPU dan Bawaslu terdapat tujuh calon perempuan. Terpenuhinya keterwakilan itu semestinya terus diwujudkan sampai nanti diputuskannya anggota yang terpilih.

Sesuai dengan UU 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum maka jumlah anggota KPU ialah tujuh orang dan Bawaslu lima orang. Keterwakilan 30% anggota perempuan tidak hanya penting untuk memenuhi amanat UU, tetapi juga penting bagi demokrasi itu sendiri.

Studi di berbagai negara dan contoh nyata dalam politik di sejumlah negara maju menunjukkan politikus dan senat perempuanlah yang membawa isu-isu yang selama ini marginal menjadi terangkat. Perbaikan kualitas pendidikan hingga ekonomi terbukti berutang jasa pada banyak senat perempuan.



Berita Lainnya