Pinjaman PEN juga Dikorupsi

07/2/2022 05:00
Pinjaman PEN juga Dikorupsi
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) harus membuka mata lebar-lebar. Korupsi terkait dengan penanganan pandemi covid-19 masih terus berlangsung hingga kini.

Kali ini giliran dana pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diduga dikorupsi. Sebelumnya, pada 2020, pengadaan bantuan sosial bagi warga terdampak pandemi juga dikorupsi dan melibatkan Menteri Sosial saat itu, Juliari Batubara.

Dugaan korupsi dana PEN untuk daerah terungkap pada saat KPK menetapkan bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto sebagai tersangka pada 27 Januari 2022. Selanjutnya tersangka ditahan pada 2 Februari 2022.

Tersangka diduga meminta kompensasi atas perbantuannya sebesar 3% dari nilai pengajuan pinjaman PEN oleh Kabupaten Kolaka Timur secara bertahap. Proses pengajuan dana pinjaman PEN untuk daerah yang tidak transparan justru membuka ruang korupsi.

Pengusutan kasus Kabupaten Kolaka Timur mestinya menjadi momentum bagi KPK untuk mengusut seluruh pinjaman yang diberikan kepada daerah. Kasus Kolaka Timur bisa saja bukan yang pertama, juga bukan yang terakhir. Apalagi, pada 2021, telah direalisasi sebesar Rp6,8 triliun bagi 31 pemerintah daerah. Bukan mustahil dugaan korupsi juga terjadi di daerah lainnya.

Dana untuk membangkitkan ekonomi masyarakat dari dampak pandemi haram hukumnya untuk dikorupsi. Dana itu sudah seharusnya digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, bukan untuk dinikmati oleh pejabat melalui praktik lancung.

Pinjaman dana PEN daerah merupakan dukungan pembiayaan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemda untuk percepatan pemulihan ekonomi di daerah yang terimbas oleh pandemi.

Berdasarkan Pasal 10 ayat 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman PEN untuk Pemda, Mendagri memberikan pertimbangan atas permohonan pinjaman PEN daerah dan menyampaikan kepada Menkeu, dalam hal ini Dirjen Perimbangan Keuangan, paling lama 3 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan pinjaman PEN daerah.

Dalam praktiknya di Kemendagri, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah bertugas menyusun surat pertimbangan Mendagri atas permohonan pinjaman dana PEN yang diajukan pemda. Proses penyusunan pertimbangan itulah yang dilakukan di ruang gelap, tidak transparan, sehingga terbuka peluang korupsi.

Eloknya, Mendagri Tito Karnavian membenahi seluruh proses penyusunan pertimbangan pinjaman sehingga semuanya berlangsung secara transparan. Jika waktu yang diberikan 3 hari untuk memberikan pertimbangan dirasakan terlalu mepet, mestinya bisa dinegosiasikan untuk penambahan waktu.

Akan tetapi, yang dilakukan Mendagri ialah menyurati Menkeu Sri Mulyani untuk memberitahukan bahwa pihaknya tidak perlu lagi dilibatkan dalam memberikan pertimbangan. Meski sulit untuk menampik adanya kesan mutung karena anak buah ditangkap KPK, kita percaya Menteri Tito tetap berhati lapang.

Kita bisa memahami kekecewaan KPK atas mundurnya Mendagri sebagai salah satu pihak yang dimintai pertimbangan pengajuan pinjaman dana PEN daerah. Padahal, pertimbangan pengajuan pinjaman dana PEN melalui Kemendagri sangatlah penting untuk menutupi celah terjadinya kongkalingkong.

Kiranya Menteri Tito dan Menteri Sri Mulyani duduk bersama untuk membicarakan perihal batas waktu memberikan pertimbangan terkait pinjaman dana PEN untuk daerah. Jika tidak tercapai kesepakatan, keduanya bisa meminta keputusan Presiden.



Berita Lainnya