Perpanjang Karantina Menghadang Omikron

22/12/2021 05:00
Perpanjang Karantina Menghadang Omikron
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

 

TELAH terkonfirmasinya tiga kasus varian omikron di Indonesia beserta 60 kasus positif kontak eratnya ialah peringatan nyata bagi kita. Meski 60 kasus positif itu masih menunggu konfirmasi, jumlah itu sudah membentuk sinyal besarnya daya penularan.

Varian yang pertama teridentifikasi di Afrika Selatan pada Oktober 2021 itu memang disebutkan memiliki daya tular lebih tinggi daripada varian delta. Namun, studi hingga saat ini menyebut tingkat keparahan omikron tidak lebih berat.

Bagaimanapun kekuatan sebenarnya omikron, menganggapnya enteng tidaklah bijak. Ancamannya ialah kembalinya gelombang kasus dan lumpuhnya fasilitas kesehatan kita.

Karena itu, tidak ada kompromi, invasi omikron harus dihadang serapat mungkin. Tumpuannya jelas pada karantina pendatang dari luar negeri.

Sebab itu, perpanjangan masa karantina bagi pendatang dari luar negeri (LN) semestinya bukan lagi dalam pertimbangan pemerintah. Perpanjangan masa karantina terpusat bagi pendatang LN dari 10 hari menjadi 14 hari harus segera diberlakukan pemerintah.

Perpanjangan masa karantina memang dapat diperdebatkan dari masa inkubasi. Beberapa pihak menyebutkan masa inkubasi omikron lebih cepat daripada varian covid lainnya. Jikalaupun benar, perpanjangan masa karantina tetap dibutuhkan.

Perpanjangan masa karantina sesungguhnya berperan untuk menahan laju mobilitas luar negeri. Harus diakui, berbagai imbauan pemerintah ibarat angin lalu di kuping masyarakat.

Bahkan dengan kasus omikron yang sudah terdeteksi di 89 negara dan sudah mencapai 37 ribu kasus di Inggris, masyarakat kita masih antusias pelesir ke luar negeri. Angka pelaku perjalanan LN pun naik, baik yang datang maupun pergi, telah mencapai 4.000 orang. Tanpa meminggirkan keperluan pekerjaan dan kebutuhan mendesak lainnya, porsi pelaku perjalanan wisata tidak sepele dan memang cenderung meningkat pada akhir tahun.

Perpanjangan karantina terpusat ibarat filter bagi urgensi perjalanan itu. Jikalau ancaman omikron tidak membuat gentar masyarakat, konsekuensi biaya tambahan jutaan rupiah mungkin memberi efek yang lebih nyata.

Berdasarkan data, tarif karantina selama 10 hari di hotel bintang dua yang ditetapkan pemerintah berkisar Rp6,7 juta-Rp7,2 juta. Sementara itu, tarif termahal di hotel kelas luxury berkisar Rp17 juta-Rp21 juta.

Perilaku ‘irit’ itu bisa terbaca dari banyaknya pelancong yang berupaya menjalani karantina di wisma-wisma pemerintah ketimbang membayar hotel. Pemerintah sesungguhnya telah menetapkan tiga kriteria masyarakat yang dapat menjalani karantina di wisma, yakni pekerja migran, pelajar/mahasiswa yang kembali dari menjalani pendidikan luar negeri, dan pegawai pemerintah yang baru menjalani dinas. Namun, kasus selebgram Rachel Vennya ialah satu dari banyak contoh bahwa akses ke Wisma Atlet bisa bolong bagi pelancong umum.

Di sisi lain, pemerintah harus mengantisipasi terus meningkatnya pelaku perjalanan luar negeri dengan ketersediaan baik wisma maupun hotel. Akhir pekan lalu, penumpukan TKI terjadi di Bandara Soekarno-Hatta akibat penutupan sementara Wisma Atlet setelah temuan kasus omikron di sana.

TKI harus menunggu belasan jam di bandara, bahkan ada pula yang tidur di trotoar Wisma Atlet untuk menunggu penempatan. Memang, penumpukan itu kini telah diurai dengan pembukaan Rusun Nagrak. Ke depan, gerak antisipasi lebih cepat semestinya sudah dilakukan.

Tidak hanya itu, penambahan tempat karantina terpusat harus diikuti pula dengan prokes ketat. Terpaparnya petugas kebersihan di Wisma Atlet menunjukkan lemahnya prokes bahkan di fasilitas yang dikelola pemerintah.

Prokes yang lemah justru menjadi pintu penularan yang berbahaya. Jika demikian, perpanjangan masa karantina tetap sia-sia karena penularan lokal tetap terjadi.



Berita Lainnya