Polisi Profesional dan Simpatik

21/12/2021 05:00
Polisi Profesional dan Simpatik
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

 

SETIAP warga negara Indonesia pasti pernah paling sedikit sekali dalam hidupnya berurusan dengan polisi. Entah mengurus SIM, disetop di jalan dalam rangka razia ketertiban lalu lintas, melapor saat mengalami tindak kejahatan, hingga persolan sepele seperti meminta surat keterangan kehilangan dokumen karena lupa tempat menyimpannya.

Beberapa dari pelapor atau bahkan bisa dibilang tidak sedikit yang mengalami kejadian tidak enak ketika melapor. Di era supremasi teknologi informasi saat ini, simbol pengalaman tidak menyenangkan berurusan dengan polisi itu menyebar dalam bentuk tagar di media sosial.

Sebut saja yang belakangan meluas, dari tagar PercumaLaporPolisi, #SatuHariSatuOknum, sampai yang terbaru #NoViralNoJustice. Tujuan tagar-tagar tersebut sama, mengkritik jajaran Polri yang dinilai belum optimal menjalankan tugas memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sesungguhnya dari sisi kompentensi, kepolisian memiliki petugas-petugas yang sangat mumpuni dalam mengungkap kasus kejahatan. Terbukti, ketika kasus-kasus yang viral di media sosial benar-benar mereka tangani, para pelaku kejahatan tertangkap dalam waktu yang tidak lama.

Wajar bila kemudian muncul pertanyaan di masyarakat, kenapa baru setelah ramai diperbincangkan di media sosial, polisi baru bertindak? Haruskah semua kasus diviralkan dahulu untuk mendapatkan atensi dari kepolisian kendati sebetulnya sudah dilaporkan sebelumnya?

Peristiwa yang dialami korban perampokan seusai menarik uang tunai di ATM di Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, menguatkan pertanyaan tersebut. Perempuan yang menjadi korban itu sudah melaporkan perampokan yang dialaminya ke Polsek Pulogadung. Akan tetapi, petugas polisi di polsek malah menyalahkan korban dan menyuruhnya pulang.

Persoalan ketidakprofesionalan polisi bukan hanya pada ketidakseriusan menindaklanjuti laporan, tetapi juga ketiadaan empati pada korban. Jangankan empati, simpati saja tidak ada. Yang menonjol justru sikap yang cenderung menyalahkan korban. Padahal, bukan korban yang melakukan hal-hal melanggar hukum.

Kritik yang menjadi hangat di media sosial bukan kritik yang asal tuduh. Tiap tagar mewakili sejumlah peristiwa yang menunjukkan kelalaian dan ketidakprofesionalan petugas kepolisian yang menangani. Peristiwa-peristiwa itu pun boleh jadi merupakan puncak gunung es, yakni masih banyak peristiwa serupa yang tidak terangkat.

Itu sebabnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menanggapi tagar-tagar tersebut dengan serius, tidak berupaya membela institusi yang dipimpinnya. Kapolri bisa saja mengatakan masih banyak polisi yang profesional dan begitu banyak kasus yang telah ditangani dengan baik.

Pembelaan seperti itu tidak dapat diterima karena memang begitu seharusnya polisi memenuhi kewajiban mereka dalam menjalankan tugas.

Alih-alih membela institusinya, Kapolri memilih menegur jajarannya dan menginstruksikan agar menerima masukan masyarakat sekaligus mengevaluasi diri.

Begitu seharusnya pucuk pimpinan kepolisan bersikap. Dari sikap itu pula muncul harapan publik akan perubahan wajah Polri menjadi profesional sekaligus simpatik di mata masyarakat.

Tentu saja, omongan saja belum cukup. Publik menantikan perubahan perilaku yang nyata dari jajaran kepolisian, mulai pusat hingga daerah pelosok.

Mudah-mudahan akan tiba saatnya, tiap korban kejahatan melapor ke polisi dengan keyakinan membuncah bahwa kasusnya akan terungkap. Bukan takut diabaikan, diperas, dicibir, apalagi dilecehkan.



Berita Lainnya