Akal-akalan Lapor Harta

08/9/2021 05:00
Akal-akalan Lapor Harta
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

 

MELAPORKAN dan mengumumkan kekayaan merupakan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara. Tujuannya ialah mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kewajiban itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Disebutkan bahwa setiap penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaan mereka sebelum, selama, dan setelah menjabat.

Sayangnya kepatuhan atas kewajiban itu masih buruk. Tidak hanya soal ketepatan waktu pelaporan, tetapi juga akurasi dan transparansi laporan. Sejak 2018 sampai 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi telah memeriksa 1.665 laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), hasilnya 95% tidak akurat.

Artinya, hanya 5% penyelenggara negara benar-benar jujur melaporkan harta kekayaan mereka. Pejabat negara diduga menyembunyikan atau tidak sesuai dalam melaporkan harta kekayaan. Sebuah alarm bahaya bagi upaya pemberantasan korupsi karena 95% menutupi kekayaan mereka.

Dari segi kepatuhan waktu, statistiknya juga mengecewakan. Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan salah satu yang terburuk ialah para pejabat di parlemen. Alasan pandemi menjadi dalih karena staf mereka lebih banyak bekerja dari rumah.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang melaporkan harta kekayaan masih minim, yakni hanya 58%, atau baru 330 anggota dari total 569 orang wakil rakyat. Bahkan ada fraksi yang baru 22% anggotanya melaporkan, sedangkan yang tertinggi ada fraksi yang sudah 88%.

Padahal, sebagai wakil rakyat, mestinya lembaga parlemen terdepan untuk transparan dalam mempertanggungjawabkan kinerja dan kewajiban mereka kepada publik yang diwakili. Sikap abai yang bisa menjadi persoalan serius dalam upaya pemberantasan rasywah di Tanah Air.

Padahal, LHKPN merupakan instrumen penting dalam pencegahan korupsi di lingkungan penyelenggara negara. LHKPN bisa menjadi tolok ukur pengendalian dari korupsi dan pertanggungjawaban kepada publik. Tujuannya, satu, untuk mengendalikan diri supaya tidak melakukan korupsi.

LHKPN juga menjadi bentuk pertanggungjawaban publik penyelenggara negara kepada rakyat. Itu pun akan menunjukkan seberapa besar komitmen seorang penyelenggara negara dalam upaya melakukan pemberantasan dan tidak ramah terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Ketika seorang pejabat negara tidak tertib dan tidak akurat serta transparan dalam menyampaikan LHKPN, juga akan ada integritas yang dipertaruhkan. Menjadi tolok ukur bahwa 5% penyelenggara negara yang jujur dan taat melaporkan LHKPN jelas punya integritas lebih tinggi daripada 95% lainnya.

Karena itulah, perlu ada upaya mendongkrak kualitas LHKPN. Tidak hanya soal ketertibannya, tetapi yang paling penting transparansi dan akurasinya. Meskipun 100% pejabat tepat waktu menyerahkan LHKPN, tetapi tidak akurat, dokumen tersebut akan menjadi omong kosong belaka.

Bahkan, jika harus ada pemberian sanksi, para pembuat undang-undang perlu memikirkannya. Selama ini tidak ada rumusan sanksi yang jelas dan tegas bagi para penyelenggara negara yang mengabaikan kewajiban untuk menyampaikan LHKPN.

Lumrah jika banyak penyelenggara negara mengabaikan kewajiban itu dengan enteng. Jika kewajiban itu tidak dipatuhi, KPK tidak punya kewenangan apa pun untuk memberikan sanksi.



Berita Lainnya