10 Kepala Daerah Abaikan Hak Nakes

01/9/2021 05:00
10 Kepala Daerah Abaikan Hak Nakes
Editorial(MI. Seno)

 

 

SITUASI krisis menuntut kecepatan bertindak. Ketika eksekusi kebijakan bergerak lamban, langsung terasa dampaknya. Begitu pula pada belanja pemerintah daerah untuk penanganan covid-19. Masih ada saja pemda yang tidak kunjung mencairkan insentif untuk tenaga kesehatan.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus berulang kali mengingatkan pemda agar bergerak cepat. Beberapa bahkan sudah mendapatkan teguran keras. Namun, kelambanan masih terus terjadi. Akibatnya, hak-hak para nakes daerah terpasung.

Kebijakan refocusing APBD 2021 telah menggariskan 8% dana alokasi khusus (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) 2021 untuk penanganan pandemi covid-19. Dengan demikian, faktor ketersediaan dana seharusnya terjamin. Persoalannya ialah tidak ada kemauan segera mencairkan dana untuk insentif nakes daerah.

Buktinya, kebanyakan pemda langsung mencairkan insentif tersebut begitu mendapat teguran. Namun, ada pula pemda yang kebal teguran. Barangkali mereka merasa insentif itu tidak semendesak belanja untuk aparatur daerah. Karena itulah Mendagri Tito Karnavian kembali melayangkan surat teguran kepada 10 kepala daerah.

Kepala daerah yang ditegur Mendagri ialah Wali Kota Padang, Bupati Nabire, Wali Kota Bandar Lampung, Bupati Madiun, Wali Kota Pontianak, Bupati Penajem Paser Utara, Bupati Gianyar, Wali Kota Langsa, Wali Kota Prabumulih, dan Bupati Paser. Mendagri harus memastikan teguran itu dipatuhi, jangan sampai masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Kelambanan pencairan insentif untuk tenaga kesehatan sesungguhnya merupakan bagian dari masalah klasik tata kelola pemerintahan daerah. Tiap tahun anggaran, penyerapan belanja modal APBD rata-rata bergerak lambat. Belum lagi masalah pengalokasian anggaran yang tidak optimal.

Mendagri Tito Karnavian menyebut banyak pemda kerap menghabiskan anggaran untuk aparaturnya ketimbang program-program yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat. Kebiasaan itu berlanjut di masa pandemi.

Perilaku ini turut mencerminkan ketidakmampuan merencanakan pembangunan daerah yang berfokus pada upaya meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Padahal, kemampuan itu wajib dimiliki pemimpin daerah. Terlebih, bila kekurangan gagasan, pemerintah daerah mestinya dapat pula meminta masukan dari talenta-talenta di tengah warga mereka.

Lebih celaka lagi bila kemampuan merencanakan ada, tetapi sengaja tidak dipraktikkan karena rendahnya kepedulian pada warga. Bagi pemimpin seperti ini, yang penting aparatur pemda sejahtera.

Mereka lebih suka menghabiskan anggaran untuk rapat-rapat dinas dengan fasilitas mewah dan uang saku besar ketimbang mempertajam program bantuan sosial. Tidak mengherankan bila timbul pula pos-pos belanja yang sangat tidak peka krisis. Contohnya, pemberian honor pemakaman covid-19 kepada pimpinan daerah di Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Tata kelola yang asal aparatur pemda senang seperti itu tidak hanya berdampak secara lokal. Jika banyak pemda melakukan, sudah pasti efeknya sampai skala nasional. Program-program prioritas nasional bakal meleset akibat pengalokasian APBD yang tidak selaras.

Prioritas nasional saat ini ialah pembangunan sumber daya manusia (SDM). Hal itu disokong dengan pengalokasian 20% anggaran untuk sektor pendidikan dan 10% untuk kesehatan. Akan tetapi, ternyata masih banyak pemda yang mengabaikannya.

Borok-borok penyelenggaraan pemda memang paling cepat terungkap di masa krisis semacam pandemi covid-19 saat ini. Kepala daerah yang gagal menghadirkan kesejahteraan untuk rakyat, termasuk nakes, memang tidak layak untuk dipilih kembali.



Berita Lainnya