Meluruskan Arah Demokrasi

24/8/2021 05:00
Meluruskan Arah Demokrasi
(MI/Seno)

 

 

REPUBLIK ini memang sudah dua dekade lebih di alam demokrasi. Namun, harus kita akui, demokrasi kita belum menunjukkan keandalannya sebagai penuntun jalan yang paripurna dalam berbangsa dan bernegara.

Kita patut bersyukur, setelah lebih dari 30 tahun hidup di zaman otoritarian Orde Baru, kebebasan akhirnya bisa dirasakan. Angin reformasi yang berembus kencang pada 1998 mampu menyapu segala pembatasan dan tekanan.

Itulah berkah yang bisa dinikmati generasi saat ini. Berkah yang tercurah meski harus ditebus dengan darah sejumlah pahlawan reformasi. Sayangnya, sebagai penikmat, kita melupakan tanggung jawab untuk merawat demokrasi.

Demokrasi kita biarkan berjalan tanpa arah yang pasti. Demokrasi kita biarkan tersandera oleh mereka yang hanya mendewakan kebebasan diri sendiri tanpa peduli dengan kebebasan orang lain. Demokrasi pun menjadi liar, bahkan cenderung buas yang mencuatkan rasa waswas.

Sebagai masterpiece gerakan reformasi, demokrasi justru semakin kuat melangkah ke jalan yang sesat. Demokrasi, pelan tapi pasti, menjelma sebagai instrumen untuk membatasi kebebasan orang lain.

Pada konteks itulah kita memahami kerisauan para tokoh bangsa akan masa depan demokrasi di Republik ini. Kerisauan itu sudah lama ada dan terkini disuarakan oleh Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, kemarin, dalam pidato kebangsaan pada rangkaian perayaan HUT ke-50 Center for Strategic and International Studies (CSIS).

Dalam pidato Pandangan dan Proyeksi Ketua Umum Partai Politik Menjelang Seabad Indonesia Merdeka Tahun 2045 itu, Surya mengaku menikmati sistem demokrasi yang sudah berjalan. Namun, Surya juga merasa waswas, cemas, ketika sistem demokrasi tak terjaga.

Menurut Surya, demokrasi saat ini masuk kategori superliberal. Atas nama demokrasi, sebagian masyarakat masih menganggap hak-hak mereka tidak boleh dikurangi sedikit pun, termasuk oleh pemerintah.

Surya tak mengada-ada. Faktanya, atas nama demokrasi, sebagian rakyat suka bertindak semena-mena. Atas nama demokrasi, sebagian masyarakat mengabaikan etika dan tata krama yang sejak dulu menjadi karakter bangsa. Atas nama demokrasi pula, mereka seenaknya menghina pihak lain, termasuk pemimpin negara.

Demokrasi salah arah bahkan tak mereda ketika negeri ini butuh kebersamaan untuk melawan wabah korona. Dengan dalih mengkritik, sebagian masyarakat selalu mencerca setiap kebijakan pemerintah. Dengan alasan pengawasan, mereka tak segan melayangkan tuduhan dan fitnah kepada penyelenggara negara. Basis data seakan tak lagi penting, yang penting hanyalah kebebasan bersuara.

Jelas, demokrasi semacam itu tidaklah sehat. Jelas, demokrasi sejenis itu tidaklah tepat untuk terus kita terapkan. Kita memang butuh kebebasan, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang seimbang antara hak dan kewajiban.

Sebagai produk unggulan Orde Reformasi, demokrasi harus kita selamatkan agar tak kian salah jalan. Pada konteks itulah peran elite sangat kita butuhkan. Jadilah teladan bagi rakyat dengan menjadi demokrat sejati, bukan demokrat abal-abal yang seolah-olah menjunjung tinggi demokrasi tetapi sesungguhnya bertabiat tirani.

Edukasi yang merata mengenai makna kebebasan dalam demokrasi pun mesti terus dilakukan, bahkan harus digencarkan. Di sinilah kontribusi partai politik amat dinanti.

Sebagai agen pendidikan politik, partai politik harus berada paling depan untuk meluruskan arah demokrasi seusai karakter bangsa itu. Namun, partai politik baru bisa melakukan itu jika mereka benar-benar punya idealisme dan tak lagi mabuk pragmatisme.



Berita Lainnya