Harga Tes PCR Bisa Lebih Murah

19/8/2021 05:00
Harga Tes PCR Bisa Lebih Murah
Illustrasi MI(MI/Duta)

 

 

PANDEMI memang memperlihatkan keaslian kita, termasuk ketamakan. Perusahaan dan lembaga klinik yang tamak kini terlihat jelas dengan adanya kebijakan harga baru tes PCR.

Sesuai arahan Presiden Jokowi untuk menurunkan harga tes PCR, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan surat edaran yang berlaku mulai 17 Agustus. Ditetapkan batas tarif tertinggi tes PCR di Jawa dam Bali Rp495 ribu, daerah lainnya Rp525 ribu. Hasil PCR harus keluar maksimal 1x24 jam.

Tidak sedikit rumah sakit dan laboratorium klinik yang segera merespons kebijakan tersebut. Meski begitu, ada saja akal pengusaha tamak untuk terus mempertahankan besarnya profit.

Sebuah jaringan laboratorium klinik swasta terkenal memberlakukan aturan konsultasi dokter. Dengan begitu, meski tarif tes PCR Rp495 ribu, total biaya yang harus dibayar konsumen lebih dari Rp600 ribu.

Sebuah rumah sakit swasta di Jakarta yang selama ini menonjolkan diri sebagai RS pendidikan juga menetapkan tarif di atas aturan pemerintah. Tarif dipatok Rp525 ribu dengan alasan administrasi. Dengan harga yang menyamai tarif tertinggi di luar Jawa-Bali itu pun hasil tes baru keluar 2x24 jam.

Tes PCR di luar Jawa jauh lebih mahal lagi. Di Labuan Bajo, Manggarai Barat, misalnya, dengan alasan RS setempat tidak punya laboratorium, tes PCR paling cepat keluar tiga hari dengan biaya di atas Rp2 juta.

Kita pantas marah dengan ketamakan para pengusaha itu. Sebab, harga baru yang ditentukan pemerintah pun sesungguhnya telah memberikan mereka untung besar.

Sebagaimana yang diungkap seorang epidemiolog, meski betul reagen masih tergantung pada impor, harganya sudah ada yang di kisaran Rp150 ribu. Reagen dengan harga cukup murah itu terpampang dalam e-katalog Kemenkes yang artinya sudah diketahui dan dapat diakses seluruh pengusaha Tanah Air.

Amat mudah membayangkan jika reagen termurah selalu menjadi pilihan pengusaha karena demikianlah hukum ekonomi. Ditambah biaya administrasi pun, patokan tarif Rp495 ribu tetap membuat gemuk pundi-pundi mereka.

Alasan profit di balik tingginya harga tes PCR juga bisa dilihat sejak lama dengan adanya laboratorium yang bisa memberikan harga lebih murah. Sebuah laboratorium di Cilincing, Jakut, bahkan sejak Juni 2021, mematok tarif hanya Rp475 ribu. Namun, sang pemilik mengungkapkan bahwa ia justru ditekan sejumlah pihak karena dianggap merusak pasar.

Sudah semestinya pemerintah bersikap lebih keras terhadap pengusaha tamak. Merekalah musuh dalam selimut. Ketika pemerintah bekerja keras menanggulangi pandemi, para pengusaha yang telah diberi kebijakan menguntungkan itu justru menjadi penghambat.

Akal-akalan mereka menambah berbagai biaya di luar yang sudah ditentukan tidak hanya akan memperlambat tracing, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat. Masyarakat akan merasa pemerintah hanya mementingkan pengusaha. Jika sudah demikian, pemerintah akan lebih sulit lagi meminta masyarakat bersabar dengan aturan-aturan di masa pandemi ini.

Dari segi medis pun, urgensi tes PCR sudah lama disuarakan para ahli. Tingginya kasus negatif palsu pada tes antigen telah membuat klaster penularan baru. Banyak orang yang merasa sudah sembuh dan beraktivitas normal lagi walau sebetulnya masih infeksius.

Dengan begitu, teguran terhadap para pengusaha laboratorium ataupun rumah sakit yang mempermainkan harga PCR ialah keharusan. Ketegasan yang diperlihatkan terhadap pengusaha restoran atau mal yang nakal, semestinya juga diterapkan pada pengusaha bidang klinik yang tamak.

Lebih jauh lagi, pemerintah harus terus mengupayakan penurunan harga PCR yang lebih besar. Bukan saja karena harga keekonomian yang masih di bawah harga saat ini, melainkan PCR murah bahkan gratis, ialah mutlak bagi penanggulangan pandemi jangka panjang. Apalagi, dengan pandemi covid-19 yang diproyesikan dapat ditekan menjadi endemi dalam beberapa tahun ke depan.



Berita Lainnya