Pulih Berawal dari Daerah

18/8/2021 05:00
Pulih Berawal dari Daerah
Editorial(MI.Duta)

 

 

TRADISI mengenakan baju adat dalam upacara-upacara kenegaraan yang diinisiasi pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dimungkiri telah menjadi ajang promosi daerah. Publik dapat lebih mengenal baju-baju adat dari berbagai daerah yang selama ini kurang populer.

Bahkan, bisa pula muncul ketertarikan untuk menggali lebih dalam informasi terkait dengan daerah yang bersangkutan. Ketika baju adat mereka dipakai Kepala Negara dan Ibu, juga dikenakan para tokoh dan elite politik, daerah pun akan merasa bangga.

Begitu beragamnya baju adat dan tentunya budaya daerah di Tanah Air bukan berarti menonjolkan perbedaan. Justru, keberagaman itu merupakan kekayaan yang menjadi modal besar bangsa untuk bergerak bersama meraih kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Simbol-simbol kedaerahan turut menekankan pentingnya pembangunan yang berkualitas dengan bertumpu pada pemberdayaan daerah. Membangun negara mesti dimulai dari desa, kemudian kabupaten/kota, hingga provinsi.

Penekanan pada daerah terlihat pada politik anggaran. Pemerintah mengusulkan alokasi anggaran belanja dalam RAPBN 2022 sebesar Rp2.708,7 triliun. Alokasi itu terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp1.938,3 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa sebanyak Rp770,4 triliun.

Memang, ada penurunan alokasi belanja sekitar Rp38 triliun jika dibandingkan dengan alokasi tahun ini. Hal itu bertujuan kondisi fiskal lebih sehat dengan tekanan utang lebih rendah.

Sekitar 60% pemangkasan alokasi belanja tersebut ditanggung pos transfer daerah dan dana desa. Meski begitu, terdapat penekanan kebijakan yang berupaya memacu kualitas belanja daerah dengan berfokus pada pembangunan sumber daya manusia.

Presiden Jokowi dalam pidato pengantar RAPBN 2022 di hadapan parlemen, Senin (16/8), mengatakan anggaran difokuskan antara lain untuk pembangunan SDM pendidikan dan penambahan belanja kesehatan prioritas. Bersamaan dengan itu, kualitas belanja ditingkatkan agar terjadi percepatan dalam peningkatan dan pemerataan kesejahteraan.

Dana desa diprioritaskan untuk pemulihan ekonomi di desa melalui program perlindungan sosial dan kegiatan penanganan covid-19, serta mendukung sektor prioritas. Harmonisasi belanja kementerian/lembaga dan pos transfer ke daerah dan dana desa terus ditingkatkan.

Harus diakui, realisasi kebijakan-kebijakan itu mungkin tidak akan seindah harapan. Masih banyak problem dalam birokrasi daerah yang potensial tetap mengganjal.

Sampai dengan tahun ini pun masalah kelambanan serapan belanja membelit sebagian besar daerah. Ratusan triliun rupiah dana pemda parkir di bank. Padahal, banyak belanja yang mendesak untuk segera dicairkan terutama terkait dengan penanganan covid-19.

Kelambanan itu sempat membuat geram Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Mendagri pun mendatangi beberapa pemerintah daerah yang dinilai paling lamban untuk menggedor pintu anggaran mereka.

Tentu kemudian ada pertanyaan apa sebetulnya yang menyebabkan mangkraknya dana pemda hingga membuat serapan belanja hanya mampu merangkak. Bila itu terus-menerus terjadi, patut diduga ada kesengajaan. Biasanya kesengajaan itu disebabkan ada keuntungan atau manfaat yang diperoleh, tidak peduli belanja daerah tersandera.

Apa pun penyebabnya, kondisi yang melemahkan itu tidak bisa terus dibiarkan. Perlu ada pemecahan secara tuntas bila perlu lewat sanksi keras hingga tuntutan pidana.

Kebangkitan dari keterpurukan akibat pandemi kali ini seyogianya sekaligus menjadi momentum perbaikan pengelolaan anggaran daerah. Ketika daerah pulih, negara pun akan pulih.



Berita Lainnya