Sentimen Negatif Baliho Politik

13/8/2021 05:00
Sentimen Negatif Baliho Politik
Editorial(MI.Duta)

 

 

PANDEMI covid-19 belum ada tanda-tanda berakhir. Virus korona masih rajin menebar maut, tetapi para politikus malah asyik memoles diri melalui baliho yang mulai menyesaki ruang publik.

Baliho bergambar wajah para politikus dengan foto paksa diri senyum manis itu memang tidak secara eksplisit memperkenalkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden. Akan tetapi, tertera angka 2024 yang bisa ditafsirkan sebagai Pilpres 2024.

Rakyat yang sedang menderita diterpa covid-19 dijadikan objek akrobat pencitraan tidak sedap para politikus. Mereka masih sempat-sempatnya memikirkan cara menggapai kekuasaan tanpa sedikit pun berempati dengan rakyat yang dilanda kesusahan.

Para politikus itu terkesan mengabaikan kondisi rakyat yang tengah kesusahan. Pada saat rakyat ngos-ngosan berjuang melawan virus korona, mereka malah jor-joran memasang baliho dengan biaya yang tidak sedikit.

Fakta itu memperlihatkan para politikus miskin empati. Alih-alih mereka berempati dengan kondisi rakyat, membantu, dan memberikan solusi, justru mereka sibuk melakukan promosi diri di tengah pandemi. Gambar muka mereka dipampang berderet di jalan-jalan protokol yang kadang merusak keindahan kota.

Ada yang berkedok imbauan terkait pandemi virus korona, juga yang terang-terangan menyatakan untuk kepentingan 2024. Ajang pencitraan yang jelas tidak patut itu mengangkangi kondisi rakyat yang tengah sekarat di segala sisi.

Mereka yang seharusnya berada paling depan untuk menjadi solusi atasi kesulitan rakyat, justru memanfaatkan situasi pandemi covid-19 untuk kepentingan kekuasaan semata. Ironis memang, pada saat bangsa ini memasuki era new normal akibat pandemi, para politikus masih menggunakan cara-cara lama memasang baliho.

Mereka lupa bahwa mayoritas pemilih pada 2024 ialah anak-anak muda yang rasional. Pemilih yang menjadi bagian dari generasi milenial dan pascamilenial. Mereka termasuk pemilih yang cerdas dan kritis, tidak mempan dipengaruhi pesan kosong baliho.

Pemilih rasional mampu memilih dan memilah informasi terkait rekam jejak calon presiden dan wakil presiden. Mereka membutuh pemimpin yang kerja nyata. Karena itu, cara paling efektif menarik simpati pemilih di masa pandemi ialah turun ke lapangan. Ketimbang uang dihamburkan untuk memasang baliho, elok nian bila uangnya dipakai untuk membantu rakyat.

Patut diapresiasi para politikus dan partai politik yang telah bekerja dalam senyap untuk membantu rakyat. Mereka memberikan bantuan secara nyata, juga memfasilitasi vaksinasi. Keterlibatan nyata dalam menangani pandemi akan tercatat sebagai rekam jejak yang menjadi pertimbangan pemilih saat pemilu.

Ketimbang memakai baliho, banyak cara lain yang lebih elegan kalau ingin dikenal rakyat. Misalnya, rajin-rajinlah turun ke daerah untuk membagi-bagikan bantuan sosial atau memberikan bantuan untuk rakyat yang menjalani isolasi mandiri.

Tegas dikatakan bahwa politisi baliho di tengah pandemi ini tidak hanya bertentangan dengan etika politik itu sendiri, tetapi juga dari sisi strategi kampanye politik. Bukannya naik, kontroversi baliho ini justru menjadi bumerang bagi citra mereka.

Hasil survei Charta Politika yang dirilis kemarin menegaskan baliho tidak punya korelasi positif dengan elektabilitas tokoh. Sosok yang terpampang di baliho memang dikenal masyarakat, tetapi tidak mampu mengerek elektabilitas, malah menimbulkan sentimen negatif. Banyaknya baliho yang dipasang di ruang publik ternyata tidak berkorelasi linier dengan tingkat elektabilitas.



Berita Lainnya