Agar Luar Jawa-Bali tidak Meledak Lagi

11/8/2021 05:00
Agar Luar Jawa-Bali tidak Meledak Lagi
(Ilustrasi)

 

 

UNTUK kedua kalinya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang dimulai dengan level darurat awal Juli lalu diperpanjang.  Perpanjangan PPKM di Jawa dan Bali berlangsung sampai 16 Agustus, sedangkan untuk wilayah luar Jawa dan Bali berlaku hingga dua pekan ke depan, tepatnya sampai 23 Agustus.

Kini giliran wilayah di luar Jawa-Bali yang mendapat perhatian khusus karena tingginya kasus aktif covid-19 dengan kecenderungan yang masih meningkat. Berdasarkan catatan pemerintah, saat ini kontribusi penularan covid-19 luar Jawa-Bali sebesar 46,5% dari total nasional dengan laju penambahan kasus aktif sebesar 1,23%. 

Provinsi di luar Jawa-Bali dengan peningkatan tertinggi kasus covid-19 mencakup Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Sumatra Barat, Papua, dan Riau. Sebaliknya, di Jawa dan Bali terdapat penurunan kasus yang cukup signifikan hingga 59,6% dari puncak kasus di 15 Juli 2021. Hal itu antara lain merupakan dampak PPKM darurat yang diikuti penerapan PPKM level 4. 

Pemerintah memang perlu bergerak cepat untuk mencegah terulangnya ledakan kasus positif covid-19 dan kematian seperti yang terjadi sepanjang Juli lalu. Pembatasan mutlak diperlukan agar laju penularan covid-19 dapat ditekan.

Kesiapan rumah-rumah sakit harus terus diperkuat. Demikian pula dengan lokasi-lokasi isolasi terpusat. Dalam hal ini, kapal Pelni turut disiapkan sebagai sarana isolasi terpusat di luar Jawa-Bali. 

Sebagai tahap awal, kapal isolasi tersedia di empat kota, yakni Medan, Bitung, Sorong, dan Bandar Lampung. Selain itu, fasilitas gedung milik pemerintah seperti asrama haji, wisma atlet, dan balai diklat di berbagai daerah turut disulap menjadi tempat isolasi pasien tanpa gejala dan bergejala ringan.

Langkah-langkah pemerintah itu menunjukkan antisipasi yang lebih sigap setelah belajar dari pengalaman ledakan kasus pada Juli. Namun, menyediakan fasilitas perawatan dan isolasi terpusat baru satu bagian dari antisipasi yang diperlukan. Bagian lainnya meliputi kesiapan dan kesadaran masyarakat dan sokongan pemerintah daerah. 

Percuma isolasi terpusat disiapkan bila warga masih memilih dan bisa menyembunyikan status positif covid-19. Penyebabnya beragam, mulai tekanan lingkungan sekitar karena adanya stigma, terdesak kebutuhan sehari-hari keluarga, hingga merasa lebih nyaman melakukan isolasi mandiri. 

Tidak mengherankan bila buntutnya berupa tingginya angka kematian di rumah sakit akibat keterlambatan penanganan. Penularan di lingkungan rumah tangga dan permukiman juga sulit dihindarkan karena ketidakdisiplinan pelaksanaan isolasi secara mandiri. 

Tentu juga sangat tidak manusiawi menggelandang warga yang positif covid-19 dan memaksa dengan kekerasan agar mereka memakai fasilitas isolasi terpusat. Karena itu, penyebab-penyebab yang mendasari penolakan mereka mesti diatasi terlebih dahulu.

Bila karena stigma, sosialisasi untuk memberikan kesadaran mulai kepada perangkat desa/kelurahan, ketua RT/RW, hingga warga harus digencarkan. Jika karena desakan kebutuhan sehari-hari, pemberdayaan permukiman untuk saling membantu mesti digairahkan. 

Pemerintah daerah pun wajib siap menyokong dengan bantuan sosial dan belanja yang sekaligus membantu perekonomian lokal. Jangan malah menggunakan anggaran untuk belanja mewah, seperti pembuatan seragam yang memakai bahan buatan luar negeri. Padahal, kualitas buatan lokal sudah cukup mumpuni.

Kerja bareng yang didasari kesadaran bersama merupakan modal besar bangsa untuk keluar dari kungkungan tekanan dampak pandemi covid-19. Tanpa itu, ledakan demi ledakan kasus akan terus melanda seiring dengan covid-19 yang masih akan ada untuk jangka waktu yang lama.



Berita Lainnya