Menciptakan Petani Milenial

07/8/2021 05:00
Menciptakan Petani Milenial
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

PERTANIAN menjadi sektor yang cukup tangguh selama pandemi covid-19. Di saat sektor lain mengalami kontraksi cukup dalam, sektor ini justru tumbuh dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Ekonomi nasional tumbuh 7,07% secara tahunan pada triwulan II 2021. Presiden Joko Widodo mengatakan hampir semua sektor berkontribusi minus, sektor pertanian tumbuh positif. Sektor pertanian mampu berkontribusi positif sebesar 1,75% pada 2020 dan pada triwulan pertama 2021 tumbuh positif 2,95%.

Menjaga keberlangsungan sektor pertanian sangat penting. Untuk mendukung keberlangsungan sektor tersebut, regenerasi sumber daya manusia di bidang pertanian mendesak. Apalagi banyak kaum muda belum banyak yang tertarik untuk menjadi petani.

Saat ini sebanyak 71% petani berusia lebih dari 45 tahun. Hanya 29% yang di bawah 45 tahun. Inilah yang menjadi concern Kementerian Pertanian. Kementan terus berupaya mewujudkan sumber daya manusia pertanian yang unggul, mandiri, dan modern dengan pendidikan dan pelatihan vokasi bagi petani, penyuluh, maupun generasi muda. Kementan bahkan akan mencetak 2.000 petani milenial dan andalan nasional.

Presiden pun mendorong langkah tersebut agar kaum milenial makin tertarik ke sektor agrokultur. Ia berharap petani di Indonesia harus jadi profesi yang menjanjikan dan menyejahterakan sehingga membuat generasi muda lebih berminat menekuni bidang tersebut.

Menarik minat generasi muda menjadi petani tentu butuh kerja keras semua pihak, tidak hanya tanggung jawab Kementan. Sektor lainnya, termasuk pendidikan serta pemerintah daerah juga perlu dilibatkan. Sudah saatnya kebijakan di sektor ini lebih memihak petani sehingga profesi itu tidak lagi dianggap sebelah mata sebab anggapan selama ini yang berkembang di masyarakat, menjadi petani merupakan pekerjaan kasar yang sehari-hari mesti bergelut dengan lumpur dan berupah murah.

Pola pikir semacam ini harus diubah terlebih dahulu, bahwa menjadi petani bukan semata membajak sawah. Ia juga meliputi pengolahan, pengemasan, hingga pemasaran yang tentunya butuh skill dan sentuhan teknologi.

Gambaran petani mengandalkan sistem yang lebih modern dan menggunakan teknologi bila perlu diajarkan sejak sekolah dasar. Citra petani yang berkubang lumpur semestinya ditinggalkan. Jangan lagi membangun imajinasi anak-anak, misalnya, menggambar gunung, hamparan sawah, kerbau, dan petani berlumpur.

Hambatan lainnya yang juga mesti dibenahi ialah persoalan keterhubungan dan kesesuaian (link and match) antara pendidikan dan dunia kerja. Banyak insinyur pertanian yang tidak bekerja sesuai bidangnya karena dunia industri belum banyak menyerap tenaga dan keahlian mereka.

Tenaga mereka tidak terserap, bisa jadi lantaran kompetensi mereka yang dianggap belum mumpuni. Oleh karena itu, pendidikan vokasi di bidang pertanian yang kini banyak dikembangkan di berbagai perguruan tinggi maupun institut pertanian, bisa menjadi salah satu solusi. Selain siap kerja, mereka juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan di sektor tersebut.

Mengutip hasil Survei Angkatan Kerja Nasional, BPS menyatakan sebanyak 20,62% pemuda Indonesia bekerja di sektor pertanian pada Agustus 2020, naik dari periode sebelumnya yang berjumlah 18,43%. Meski tidak terlalu signifikan, angka ini cukup menggembirakan dan perlu ditingkatkan agar semakin banyak generasi milenial yang tertarik menjadi petani.

Indonesia kini tengah menghadapi lonjakan jumlah penduduk yang akan mencapai puncaknya pada 2062. Itu artinya, sektor pertanian pun harus berpacu dengan waktu seiring meningkatnya jumlah penduduk dan kian menyusutnya lahan yang beralih fungsi sebagai konsekuensi pembangunan. Itu artinya, regenerasi petani mendesak dilakukan jika kita tidak ingin terhindar dari krisis pangan di masa depan.



Berita Lainnya