Belajar dari Tragedi Kematian

06/8/2021 05:00
Belajar dari Tragedi Kematian
(MI/Duta)

 

 

TINGKAT keparahan situasi pandemi sejatinya tidak hanya dilihat dari seberapa luas, seberapa cepat penyebaran atau penularan penyakitnya. Pandemi juga bisa dikategorikan parah jika mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Karena itu, pengendalian pandemi covid-19 sekarang ini pun semestinya dilakukan dengan strategi dan pendekatan yang terukur terhadap kedua isu tersebut.

Cukupkah kita hanya membendung penyebaran virus dengan menggalakkan protokol kesehatan, sedangkan di sisi lain fasilitas dan sistem kesehatan tak punya cukup kekuatan untuk mencegah kematian pasien-pasien yang sudah telanjur terpapar virus? Lebih celaka lagi kalau di hulu kita gagal membendung penyebaran, di hilir pun gagal menghindarkan kematian.

Jawabannya ialah tidak. Dua sisi itu, hulu dan hilir harus kita menangi kalau ingin menguasai pengendalian pandemi. Kalau kita analogikan dengan pemberantasan korupsi, ada sisi pencegahan (untuk mengerem laju penyebaran virus), ada sisi penindakan (untuk menghindarkan pasien dari ajal). Keduanya sama penting dan harus secara paralel dilakukan.

Indonesia mengalami horor kematian akibat covid-19 dalam dua bulan terakhir. Selama 15 bulan pertama (Maret 2020-Mei 2021), jumlah kematian akibat covid-19 di Indonesia sebanyak 50 ribu orang, tetapi hanya dalam waktu sembilan minggu hingga awal Agustus ini, angka kumulatifnya sudah menembus 100 ribu orang. Juli mencatat angka kematian paling memilukan, lebih dari 32 ribu jiwa. Dalam sepekan terakhir Juli, kematian rata-rata harian bahkan mencapai 1.582 jiwa.

Dalam perspektif kemanusiaan, satu kematian pun sesungguhnya ialah tragedi. Lalu sebutan apalagi yang pas untuk menggambarkan 100 ribu kematian? Jelas ini merupakan pesan penting bagi pemangku kebijakan bahwa situasi pandemi kita saat ini sedemikian serius dan parah.

Tidak boleh ada lagi dalih ketidaksiapan dan keterlambatan penanganan covid-19. Terlebih saat ini penyebaran kasus covid-19 berikut kematian yang diakibatkannya tengah menanjak di luar Pulau Jawa. Kita harus ingatkan lagi, kejadian lonjakan covid-19 yang teramat cepat dan membuat kalang kabut hampir semua daerah di Pulau Jawa tempo hari tak boleh terulang di luar Jawa.

Dari kejadian lonjakan kematian di Jawa itu pun semestinya pemerintah belajar bahwa ternyata kematian akibat covid-19 tidak selalu didominasi oleh orang lanjut usia (lansia). Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 melaporkan berdasarkan laju kasus kematian pada Juni hingga Juli 2021, ada kecenderungan pergeseran risiko kematian akibat wabah itu dari lansia ke kelompok masyarakat berusia produktif.

Ini semacam antitesis dari 'teori' yang kita percayai sejak awal pandemi bahwa kelompok paling berisiko covid-19 ialah mereka yang berusia lanjut. Sangat kuat dugaan bahwa pergeseran itu dipicu oleh aktivitas dan mobilitas usia produktif yang tinggi dan kecenderungan mereka lebih mengabaikan protokol kesehatan.

Setiap kasus dan tren harus menjadi pembelajaran supaya tidak terjadi kembali. Betul kata seorang pakar, di negara maju setiap kematian dijadikan studi kasus untuk mencari tahu penyebab dan karakternya. Dari situlah pemerintah bisa memperoleh rujukan strategi.

Di sisi masyarakat, tren kematian yang mulai banyak menyasar kaum muda semestinya menjadi alarm agar kita jangan sekali-sekali bersikap lengah dan menyepelekan prokes. Ingat, virus korona dengan semua varian mutasinya kian ganas dan berbahaya. Tentu saja situasi akan semakin runyam jika virus yang kian berbahaya itu bertemu dengan sikap masa bodoh dan abai masyarakat.



Berita Lainnya