Keadilan untuk Lingkungan Hidup

26/7/2021 05:00
Keadilan untuk Lingkungan Hidup
(MI/Seno)

 

 

BERBUAT adil untuk lingkungan hidup menjadi salah satu ukuran kemajuan peradaban sebuah bangsa. Berbuat adil bertujuan kemanfaatan lingkungan hidup bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.

Gagasan keadilan antargenerasi itu telah melahirkan kewajiban untuk merawat lingkungan hidup secara bertanggung jawab. Tanggung jawab Indonesia merawat lingkungan hidup semakin bertambah karena hutan negeri ini menjadi salah satu paru-paru dunia yang perannya sangat penting bagi kehidupan isi bumi.

Hasil pantauan pada 2019, luas lahan berhutan seluruh daratan sebesar 94,1 juta hektare atau 50,1% dari total daratan. Dari jumlah tersebut, 92,3% dari total luas berhutan, atau 86,9 juta hektare, berada di dalam kawasan hutan. Kawasan hutan itu berada di bawah otoritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menjaga hutan tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah. Itu juga menjadi tugas masyarakat setempat. Patut diapresiasi gotong royong merawat hutan antara pemerintah dan masyarakat selama ini. Hasilnya ialah tren deforestasi Indonesia relatif lebih rendah dan cenderung stabil.

Kiranya perlu kerja sama global untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam paradigma pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Sayangnya, masih banyak negara maju berlaku tidak adil terhadap Indonesia terkait dengan lingkungan hidup. Mestinya negara maju harus adil berkontribusi memperbaiki lingkungan hidup karena sesungguhnya mereka yang punya andil terbesar atas kerusakan lingkungan dan eksploitasi lingkungan.

Para aktivis lingkungan hidup juga berlaku tidak adil. Sebelas lembaga swadaya masyarakat (LSM) menerbitkan laporan pada awal tahun ini bahwa penebangan hutan di Papua dan Papua Barat meningkat sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Laporan itu tentu saja tidak fair karena sengaja menutup-nutupi fakta mengenai kapan dan siapa yang memberikan perizinan pada area yang disebut-sebut terjadi deforestasi seluas 269.132 hektare melalui penerbitan 17 surat keputusan pelepasan kawasan hutan (SK PKH) dalam kurun 2015-2019.

Fakta yang disembunyikan ialah 12 dari 17 SK PKH tersebut merupakan kelanjutan proses dari persetujuan prinsip yang telah diberikan pemerintahan sebelumnya. Data pembanding yang disodorkan KLHK berdasarkan data satelit USGS dan Sentinel Hub, di area 17 SK PKH itu mendekati 100% masih berupa tutupan hutan alam hingga kini.

Harus jujur diakui bahwa selama pandemi covid-19 berseliweran data-data palsu di ruang publik. Tujuannya tentu saja menurunkan kredibilitas pemerintah. Dalam konteks itulah KLHK yang menyodorkan data pembanding diapresiasi.

Ambil contoh izin perkebunan selama 1984-2020 melalui pelepasan kawasan hutan seluas 7,3 juta hektare. Sebanyak 91%, atau 746 izin seluas 6,7 juta hektare, dikeluarkan sebelum Presiden Jokowi.

Begitu juga terkait dengan hutan tanaman industri (HTI) yang hingga Desember 2020 tercatat izin untuk 11,2 juta hektare. Akan tetapi, pada era Presiden Jokowi, izin dikeluarkan sebanyak 1,2 juta hektare atau hanya 10,7% dari keseluruhan izin.

Pemerintahan sekarang memang bertugas mencuci piring kotor pemerintahan sebelumnya di bidang lingkungan hidup. Karena itu, tidak ada lagi obral izin dan penegakan hukum lingkungan berjalan tegak lurus. Sebelum 2015, sebanyak 95,76% izin dikuasai perusahaan, sekarang rakyat menikmati program perhutanan sosial dan tanah objek agraria.

Bangsa ini tentu saja tidak mau dibuat malu oleh sejarahnya. Karena itu, kebesaran dan kemakmuran di bidang lingkungan hidup harus diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan generasi mendatang.



Berita Lainnya