Berkorban di Tengah Pageblug

20/7/2021 05:00
Berkorban di Tengah Pageblug
Petugas kesehatan hewan memeriksa kesehatan hewan kurban di tempat penampungan hewan kurban, Kuningan, Jakarta Selatan.(MI/ANDRI WIDIYANTO)

 

 

SEPERTI halnya tahun lalu, Idul Adha 1442 Hijriah tahun ini harus dirayakan dalam situasi pandemi covid-19. Konsekuensinya, umat muslim tak bisa menyambut Idul Kurban dengan kemeriahan, tetapi tidak lantas kehilangan kekhidmatan dan kemuliaan.

Seperti halnya tahun lalu, perayaaan Idul Adha tahun ini juga dibarengi pembatasan-pembatasan. Tidak ada lagi salat Idul Adha di masjid-masjid atau di lapangan terbuka seperti biasanya. Tidak ada pula takbir keliling. Semuanya dilarang.

Salat Idul Adha cukup dilakukan di rumah bersama keluarga. Demikian halnya dengan takbir untuk mengagungkan kebesaran dan kekuasaan Allah, Tuhan Yang Mahabesar dan Mahakuasa. Ia masih bisa dilakukan di masjid atau musala, tetapi dengan peserta sangat terbatas plus menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Sama halnya dengan pemotongan hewan kurban yang mesti dilakukan secara sangat terbatas.

Larangan pemerintah menggelar salat Idul Adha di masjid, musala, atau di tempat terbuka bukanlah pengekangan beribadah. Larangan bagi umat muslim melakukan takbir keliling bukan pula pembatasan dalam menjalankan keyakinan. Ia semata wujud implementasi dari kewajiban negara untuk melindungi keselamatan rakyatnya.
 
Itulah keniscayaan di tengah situasi kondisi yang masih sangat mengkhawatirkan lantaran serbuan virus korona yang kian menggila. Kebijakan itu niscaya diberlakukan pemerintah demi memproteksi seluruh anak bangsa dari paparan covid-19 yang semakin melejit.

Pembatasan-pembatasan itu juga tak lantas mengurangi kemuliaan Idul Adha. Seluruh umat Islam tetap bisa merayakan Idul Kurban secara sederhana, tetapi tetap khidmat dan khusyuk.
 
Idul Adha di tengah pandemi justru bisa menjadi ladang yang lebih luas untuk memanen lebih banyak pahala. Dalam situasi seperti sekarang, kewajiban berkorban tak cuma bisa diwujudkan dengan memotong hewan kurban, tetapi juga dalam bentuk yang lain. Banyak sikap, perilaku, dan perbuatan lain yang dapat diambil dan dilakukan sebagai bentuk pengorbanan.

Di tengah ekspansi covid-19 yang kian menjadi, mematuhi protokol kesehatan ialah bentuk pengorbanan konkret. Protokol kesehatan memang membatasi ruang gerak dan kebebasan kita, tetapi ia sangat krusial dilakukan untuk membendung penyebaran korona. Dengan berbekal semangat Idul Adha, kita perlu mengorbankan kebebasan dengan kemaslahatan sesama anak bangsa.

Bentuk pengorbanan yang lain ialah kesediaan untuk menjalani vaksinasi. Dengan bersedia divaksin, kita punya andil dalam upaya membentuk kekebalan komunal demi mengecundangi covid-19. Tidak ada alasan untuk meragukan, apalagi menolak, vaksinasi. Yang kita butuhkan hanyalah semangat untuk berkorban.
 
Berkorban bisa diimplementasikan dengan menanggalkan egoisme, mengerjakan segala sesuatu yang positif dan punya daya guna. Tidak menebar ketakutan, pesimisme, dan hoaks juga wujud pengorbanan. Sampingkan dulu kepentingan pribadi, apalagi kepentingan politik, demi kepentingan yang lebih utama, yakni keselamatan bersama.

Idul Adha memang hari raya umat Islam, tetapi kemuliaan berkorban harus menjadi semangat semua umat. Pemerintah sudah, tengah, dan akan terus berkorban untuk mengatasi pageblug besar akibat keganasan korona.
 
Para tenaga kesehatan sudah, tengah, dan akan terus berkorban untuk menangani pasien korona yang tak ada habisnya. Bahkan, ratusan tenaga kesehatan mengorbankan jiwa, gugur dalam tugas.
 
Kita, seluruh anak bangsa, juga harus berkorban. Sikap, perilaku, dan tindakan sekecil apa pun yang bisa mencegah penularan akan sangat berarti bagi bangsa ini untuk memenangi perang melawan covid-19.



Berita Lainnya