Kukuh Usung PPKM Mikro

25/6/2021 05:00
Kukuh Usung PPKM Mikro
Ilustrasi(MI/DUTA)

 

 

DI tengah penyebaran covid-19 yang semakin menggila, perdebatan perihal resep apa yang paling mujarab untuk mengendalikannya pun mengemuka. Ada tiga cara yang menjadi silang sengketa.

Ketiga cara itu, pertama, tetap setia pada kebijakan pemberlakuan pembatasan ke­giatan masyarakat (PPKM) mikro. Kedua, pemerintah semestinya menerapkan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Adapun yang ketiga, ini yang paling ekstrem, sudah saatnya opsi lockdown atau karantina wilayah diambil.

Ketiga opsi itu dilatari dengan pertimbangan sendiri-sendiri. Pengusung opsi PSBB dan lockdown, misalnya, menilai karena korona kian ga­rang menginjak pedal gas, bangsa ini harus sigap menarik rem darurat. Mereka berpandangan, PPKM mikro tak lagi efektif untuk membendung penularan co­vid-19 yang semakin hari semakin menjadi-jadi.

Ekspansi covid-19 memang kian tak terkendali sebagai dampak dari libur panjang Lebaran. Situasi diperparah dengan masuknya virus varian baru dari mancanegara, yakni alfa, beta, dan delta, yang lebih mudah menular.

Akibatnya, jumlah penderita korona meningkat sangat tajam. Kemarin, kasus positif secara nasional bahkan bertambah 20.574 sehingga total penderita covid-19 saat ini mencapai 2.053.995 orang. Inilah penambahan kasus harian terbanyak sejak covid-19 dinyatakan memapar Indonesia pada Maret 2020 lalu.

Situasi tersebut jelas tak bisa dianggap biasa-biasa saja. Perlu upaya dan kebijak­an luar biasa untuk menjawabnya. Namun, bukan berarti kita kemudian malah disibukkan dengan perdebatan soal strategi yang hanya membuang-buang energi dan memecah konsentrasi.

PSBB, atau bahkan lockdown, bisa jadi ampuh untuk menghentikan amuk korona karena dengan strategi itu mobilitas masyarakat benar-benar dikekang. Akan tetapi, risiko yang menyertainya juga tidak kecil. Dengan ‘mematikan’ aktivitas orang, akan mati pula perekonomian dan ujung-ujungnya rakyat jua yang menjadi korban.

Pada konteks itulah, ketetapan Presiden Joko Widodo untuk kukuh mempertahankan PPKM mikro sebagai strategi meredam keganasan korona patut didukung. PPKM mikro memang tidak seketat PSBB atau lockdown, tetapi di dalamnya juga menggariskan poin-poin pembatasan. Kenapa ia tidak efektif meski sudah beberapa bulan diterapkan, jawabannya ialah lemahnya eksekusi di lapangan.

PPKM mikro adalah instrumen untuk menekan mobilitas dan membuat masya­rakat mematuhi protokol kesehatan. Fakta­nya, masih banyak yang abai, ngeyel, bahkan bebal. Faktanya lagi, otoritas terkait cenderung membiarkan pengabaian itu. Banyak pelanggaran, tetapi sedikit yang ditindak. Banyak pembatasan, tetapi tidak sedikit warga masyarakat tetap menikmati kebebasan seakan keadaan masih baik-baik saja.

Ketegasan dan konsistensi dalam menegakkan aturan PPKM mikro oleh pemerintah daerah adalah kunci keberhasilan mengatasi pandemi. Bukan saatnya lagi cuma menebar imbauan, sudah lewat masanya sosialisasi.
Atas nama keselamatan rakyat, inilah wak­tunya pemerintah menggunakan kekuasaan yang diberikan undang-undang untuk memaksa masyarakat patuh.

PPKM mikro memang tidak seksi bagi mereka yang mengejar popularitas, tetapi ia akan sangat berarti jika diterapkan dengan sepenuh hati.

Mustahil disangkal, perkembangan wabah korona semakin mengerikan. Tanpa keseriusan semua pihak untuk bersama-sama mengatasinya, ia benar-benar akan menjadi petaka besar bagi bangsa.

Fasilitas dan tenaga kesehatan pun dipastikan kian kewalahan. Mengingat beratnya tugas dan tanggung jawab mereka, kita mengingatkan agar insentif bagi tenaga kesehatan tak lagi ditahan-tahan.

Semua pihak mesti sadar bahwa tragedi kemanusiaan akibat korona yang sempat melanda India, kini di depan mata kita. Jangan sampai tragedi itu akhirnya kita alami juga.



Berita Lainnya