Jakarta Tarik Rem

24/6/2021 05:00
Jakarta Tarik Rem
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

 

JAKARTA dan Indonesia sedang tidak baik-baik saja, itu sangat benar. Penyebaran covid-19 sudah masuk fase genting, bahkan kritis. Lonjakan orang terpapar virus SARS-CoV-2 teramat cepat, seiring dengan kian berkembangnya varian-varian baru virus tersebut yang diklaim semakin berbahaya.

Ilustrasi kegawatan itu amat tergambar pada hari-hari ini. Tingkat keterisian atau bed occupancy rate (BOR) Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, misalnya, pada Rabu (23/6) kemarin sudah lebih dari 90%. Tempat tidur terpakai 90,22% atau 6.671, hanya bersisa 723 tempat tidur atau 9,78% dari total 7.394 yang tersedia.

Lalu, di hari yang sama, gambar memilukan juga terpampang di RSUD Cengkareng, Jakarta Barat. Sejak tiga hari yang lalu, instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit itu tak lagi mampu menampung pasien. Akibatnya, pasien IGD sampai harus mengantre di lorong-lorong rumah sakit.

Banyak cerita lain, tidak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah lain terutama di Pulau Jawa, yang kurang lebih menggambarkan hal yang sama. Lonjakan angka penularan covid-19 yang teramat tinggi memang terjadi dan sebentar lagi mungkin betul-betul akan melumpuhkan sistem dan kekuatan fasilitas kesehatan kita. Penuhnya rumah sakit, bertumbangannya tenaga kesehatan adalah isyarat kuat negeri ini sedang dalam fase kegawatan maksimal.

Tanpa ada extraordinary pengendalian, ahli memprediksi Indonesia akan mencapai puncak kedaruratan pada Juli. Karena itu, jika mengibaratkan pengendalian pandemi sekaligus penanganan dampaknya terhadap ekonomi itu serupa pengaturan gas dan rem, semua pasti sepakat inilah saatnya pemerintah melepas pedal gas dan mulai menginjak rem kuat-kuat.

Pemerintah melalui penjelasan Presiden Joko Widodo, kemarin, memutuskan akan tetap menerapkan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro untuk menghadang laju penularan covid-19. Menurut Presiden, itu kebijakan paling tepat untuk saat ini karena dinilai bisa mengendalikan covid-19 tanpa mematikan ekonomi rakyat.

Kenapa pemerintah tidak memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau lockdown? Tidak perlu kita mendebatkan dan mempertentangkannya lagi karena sejatinya esensi dan substansinya sama. Yang penting dan mesti kita ingatkan ialah substansi dan terutama implementasinya di lapangan.

Apa pun istilahnya, intinya ialah menguatkan pembatasan, memperluas penyekatan. Ingat, pendekatan apa pun yang dipakai untuk mengerem, tujuannya tidak sekadar untuk melandaikan kasus, tapi lebih dari itu harus mampu memutus rantai penularan. Pada titik ini, aturan detailnya harus terukur, penegakan aturannya juga mesti tak setengah hati.

Provinsi DKI Jakarta sudah memulai menarik rem itu dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur No 796/2021 tentang Perpanjangan PPKM Berbasis Mikro. Meski statusnya 'hanya' perpanjangan, level pembatasan pada aturan baru ini lebih kuat, luas, dan yang pasti lebih ketat.

Setidaknya ada lima poin krusial yang dikuatkan. Pembatasan di tempat kerja, kegiatan belajar tidak ada lagi diizinkan tatap muka, pembatasan pusat perbelanjaan, ibadah di rumah, serta pembatasan kegiatan kesenian dan area publik.

Di atas kertas, PPKM versi baru ala Pemprov DKI Jakarta itu tentu baik. Di lapangan, harus dipastikan kebijakan itu berjalan tegak lurus. Bebas dari kompromi, negosiasi, ataupun subjektivitas dalam penerapannya.

Harus diingat, aturan itu akan berhadapan dengan kejenuhan masyarakat yang sudah semakin menumpuk setelah dihajar pandemi setahun lebih. Ketika tidak ditegakkan dengan keras, hanya gagah di lembar kertas, atau cuma garang di awal, pengendalian hanya akan jadi mimpi. Si virus pun kian mudah menerjang sambil menertawakan kebebalan kita.



Berita Lainnya