Diskon untuk Pinangki

16/6/2021 05:00
Diskon untuk Pinangki
Editorial(MI.Seno)

 

 

SETIAP kabar tentang pengurangan alias diskon hukuman bagi koruptor, apa pun dalihnya, selalu menyesakkan. Apalagi, korting vonis itu diberikan kepada terdakwa yang merupakan penegak hukum. Lebih menyesakkan lagi, pengurangan hukuman yang diberikan di pengadilan banding melebihi separuh dari vonis yang dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama.

Sungguh nikmatnya koruptor seperti jaksa Pinangki Sirna Malasati. Hanya dalam waktu empat bulan, vonis hukuman 10 tahun terhadap terdakwa kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang itu dipotong menjadi tinggal 4 tahun.

Pada Februari 2021 lalu, majelis hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah dengan gagahnya menghukum Pinangki 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan. Vonis itu jauh melebihi tuntutan dari jaksa penuntut umum yang 'hanya' meminta Pinangki divonis 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Namun, kegagahan hakim di pengadilan tingkat pertama sama sekali tak berbekas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tempat sidang banding yang diajukan Pinangki dilakukan. Dari 10 tahun rontok menjadi 4 tahun. Sadis. Vonis baru ini bahkan seperti tuntutan jaksa di awal perkara yang saat itu pun sudah dikritik terlalu ringan.

Lebih sadis lagi, salah satu alasan yang menjadi pertimbangan majelis hakim mengorting hukuman Pinangki itu karena ia wanita sehingga harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. Ini tidak saja alasan yang mencederai akal sehat, tapi juga sangat seksi, memandang segala sesuatu dalam perspektif dikotomi pria dan wanita atau laki-laki dan perempuan.

Bukankah hakim tahu bahwa dalam perspektif hukum, perlakuan secara adil, perhatian, dan perlindungan dari negara semestinya diberikan kepada setiap warga negara, tak perlu memandang jenis kelaminnya? Bukankah hakim justru seharusnya mempertimbangkan kedudukan Pinangki sebagai penegak hukum yang selayaknya mendapatkan hukuman lebih berat ketimbang orang biasa?

Dengan logika pengadilan yang terbolak-balik seperti ini sulit rasanya kita berharap pembasmian korupsi akan berjalan melalui sistem penjeraan. Efek jera hanya menjadi janji, minim aksi. Malah, atas nama hukum, negara kerap berbaik hati kepada koruptor. Bertolak belakang dengan slogan yang sering didengung-dengungkan tentang perang melawan korupsi.

Betul bahwa terlepas dari rasa kecewa, marah, bahkan kehilangan harapan setelah mendengar putusan banding itu, apa pun putusan pengadilan mesti kita hormati. Meski demikian, rakyat juga punya hak untuk mendesak Kejaksaan Agung, sekaligus untuk membuktikan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi, mengajukan kasasi atas putusan pengadilan banding Pinangki tersebut.

Bicara soal kasasi ke Mahkamah Agung (MA), lembaga ini memang tak hebat-hebat amat. Bahkan MA yang dulu sempat dikenal kejam terhadap koruptor, belakangan sering melempem, takluk pada pelaku korupsi. Alih-alih memperkuat vonis hukuman bagi koruptor di tingkat pertama dan tingkat banding, majelis hakim MA di level kasasi beberapa waktu lalu justru meringankan vonis hukuman, bahkan memvonis bebas koruptor.

Namun, itu tak boleh dijadikan alasan untuk tidak mendorong perkara korupsi jaksa Pinangki itu dibawa ke tingkat kasasi. Pengurangan hukuman lebih dari separuh dari vonis awal terhadap koruptor yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi betul-betul mengecewakan, bahkan melukai hati rakyat.

Jika ini dibiarkan, wibawa pengadilan bisa oleng, kepercayaan rakyat memudar, semangat pemberantasan korupsi pun barangkali akan runtuh. Kita tidak ingin itu terjadi. Karena itu, kasasi mesti menjadi ikhtiar terakhir untuk mengembalikan itu semua ke jalur yang benar.



Berita Lainnya