Gencatan Senjata untuk Kemanusiaan

22/5/2021 05:00
Gencatan Senjata untuk Kemanusiaan
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

ANGIN perdamaian akhirnya berembus dari Jalur Gaza. Setelah konflik berhari-hari yang terjadi di wilayah itu antara tentara Israel dan kelompok bersenjata Hamas, Palestina, kedua kubu yang bertikai pada Kamis (20/5) sepakat melakukan gencatan senjata.

Kendati hanya bersifat sementara, gencatan senjata itu merupakan langkah baik, bahkan teramat bijak, agar tidak semakin banyak lagi korban berjatuhan, terutama masyarakat sipil di kedua belah pihak.

Gencatan senjata ini bukan semata demi salah satu pihak, tapi untuk kemanusiaan. Seperti umum diketahui, dalam setiap perang atau konflik bersenjata, warga sipillah yang paling rentan menjadi korban, terutama perempuan dan anak-anak.

Menurut pejabat kesehatan di Gaza, sebanyak 232 warga Palestina, termasuk 65 anak-anak, tewas. Lebih dari 1.900 orang juga terluka akibat serangan roket. Di kubu Israel, otoritas setempat menyebut jumlah korban tewas sebanyak 12 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, serta ratusan lainnya dirawat karena cedera.

Berapa pun jumlahnya, angka ini tentu bukan statistik belaka. Mereka makhluk bernyawa. Pertimbangan kemanusiaan tentu menjadi alasan utama untuk dihentikannya konflik ini. Kedua kubu, baik pasukan Hamas maupun tentara Israel, harus menghormati kesepakatan ini.

Mesir, yang dalam hal ini bakal bertindak sebagai pengawas, harus memastikan gencatan senjata tidak dilanggar oleh kedua belah pihak sehingga bantuan tim misi kemanusiaan internasional bisa menolong dan mengevakuasi mereka yang terluka.

Keputusan gencatan senjata ini tentu juga tidak lepas dari seruan masyarakat internasional, termasuk Indonesia. Melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, pemerintah Indonesia tidak lelah-lelahnya menyerukan perdamaian di Gaza lewat jalur diplomasi, termasuk dengan menggandeng negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Dalam pidatonya di Sidang Ke-75 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis (20/5), Menlu Rento bahkan menegaskan pentingnya Palestina dan Israel kembali ke meja perundingan demi mewujudkan perdamaian yang abadi.

Perdamaian yang abadi segera hadir jika penjajahan Israel atas Palestina diakhiri. Penjajahan itulah akar masalahnya. Jika pendudukan Israel tidak diselesaikan, siklus kekerasan akan terus berulang.

Kekerasan yang terjadi di Jerusalem dan perang Hamas-Israel saat ini, jangan sampai mengecoh dunia internasional untuk menuntut keadilan, kebebasan, dan pengembalian hak wilayah dalam bingkai Palestina merdeka.

Selama ini, dalam formula 'solusi dua negara' yang disetujui AS, Israel, dan Palestina, serta didukung DK PBB, Jerusalem masuk pembahasan yang ditangguhkan.

Kita mengapresiasi semua langkah diplomasi yang telah ditempuh pemerintah Indonesia. Sebab, tanpa menyelesaikan akar permasalahannya, konflik di wilayah ini bakal sulit dihentikan. Apalagi jika kedua kubu ngotot dengan keyakinan dan prinsip masing-masing untuk mengklaim wilayah ini.

Perlu sikap saling menghormati antara bangsa Israel dan Palestina. Masyarakat internasional, terutama PBB, juga harus jadi kelompok penekan agar Israel tidak berbuat semena-mena terhadap warga Palestina. Konflik, apa pun dasarnya, mesti dicarikan solusi lewat jalur diplomasi yang adil, bukan dengan bedil.

Konflik antara Palestina dan Israel itu bukan konflik agama. Ia adalah konflik antara bangsa penjajah dan yang dijajah. Langkah yang dilakukan Indonesia, sesuai konstitusi, ialah menghapuskan segala bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.



Berita Lainnya