Kekerasan di Myanmar Persoalan Bersama

13/3/2021 05:00
Kekerasan di Myanmar Persoalan Bersama
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

REPUTASI Myanmar kian cemar di mata internasional. Pascakudeta 1 Februari lalu, junta militer yang mengambil alih kekuasaan secara paksa di negeri itu bertindak kian brutal.

Mereka menembaki warga yang menentang kudeta. Sepanjang Kamis (11/3), sebanyak 12 pengunjuk rasa tewas diterjang peluru aparat, menjadikan korban kebrutalan rezim militer sejauh ini mencapai lebih dari 70 orang. Berbagai kecaman dan sanksi internasional, terutama dari negara Barat, sepertinya tidak lagi mereka hiraukan.

Beberapa korban tewas dengan tembakan di kepala menandakan bahwa pasukan tentara menembak memang untuk membunuh, bukan sekadar menghalau atau menakuti demonstran. Amnesti Internasional menyebut aksi itu sebagai tindakan ekstrayudisial.

Militer juga memberlakukan jam malam dan menutup akses internet. Kendaraan lapis baja serta pasukan bersenjata bersiaga di jalan-jalan, dan undang-undang yang membatasi kebebasan warga untuk berkumpul pun diterapkan.

Kudeta dan kekerasan terhadap warga sipil tak bersenjata tentu tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun. Tindakan itu telah mencederai demokrasi dan melanggar hak asasi.

Ironisnya, ketika sejumlah negara di dunia sedang berjuang menghadapi pandemi dan memulihkan ekonomi, militer Myanmar justru menyengsarakan warganya sendiri. Oleh karena itu, perlu desakan internasional agar mereka menghentikan aksi tersebut, terutama dari negara-negara ASEAN, dengan Myanmar sebagai salah satu anggotanya.

Lembaga ini perlu mengambil sikap tegas terhadap anggotanya yang ‘nakal’ ini demi kredibilitas dan stabilitas kawasan. Sebab, jika kekerasan militer terus berlanjut, bukan tidak mungkin terjadi eksodus warga Myanmar ke negeri tetangga seperti Thailand. Di tengah merebaknya virus korona, kehadiran para pengungsi tentu bakal bikin runyam.

Oleh karena itu, seluruh anggota ASEAN perlu berunding dengan junta Myanmar demi kestabilan kawasan dan juga nasib warga ‘Negeri Pagoda’ itu, bukan sekadar mengecam dan menyatakan keprihatinan.

Forum asosiasi negara di kawasan Asia Tenggara ini adalah tempat di mana saluran komunikasi atau musyawarah tetap terbuka. ASEAN mungkin juga bisa menjadi forum yang paling tepat untuk memfasilitasi pesan seluruh dunia kepada para jenderal Myanmar, sekaligus mendengarkan pendapat mereka tentang cara menyelesaikan krisis.

Thailand, salah satu anggota ASEAN yang notabene juga dipimpin rezim militer, mungkin bisa melakukan pendekatan pribadi dengan para pemimpin junta di Myanmar.

Selain negara-negara ASEAN, Tiongkok yang kini mulai menancapkan reputasinya di kawasan barangkali juga bisa didorong untuk lebih berperan menjadi penengah. Apalagi, mereka secara geopolitik maupun ekonomi, kini sangat dihormati.

Di sisi lain, ‘Negeri Tirai Bambu’ juga punya kepentingan ekonomi sehingga membutuhkan kestabilan politik di kawasan ini. Belum tentu berhasil memang. Namun, intinya, segala upaya diplomasi mesti dilakukan untuk menghentikan aksi kekerasan ini demi kemaslahatan bersama dan kepentingan kemanusiaan.

Prinsip tidak mencampuri urusan internal negara bukan pula berarti dunia tidak berbuat apa-apa. Kejahatan atas kemanusiaan ialah persoalan bersama umat manusia yang mesti dilawan.



Berita Lainnya