Banjir Jakarta Bencana Peradaban

22/2/2021 05:00
Banjir Jakarta Bencana Peradaban
(MI/Duta)

 

 

JAKARTA bukan sekadar ibu kota negara. Ia menjadi simbol kemajuan peradaban bangsa ini. Kemajuan yang sering diagung-agungkan itu sirna seketika saat Jakarta terendam oleh banjir.

Jakarta terendam oleh banjir pada Sabtu (20/2). Hujan ekstrem yang diiringi meluapnya sungai-sungai membuat sebagian Jakarta dan sekitarnya terendam oleh banjir.

Banjir itu merendam sebagian ruas jalan utama, rel kereta api, dan permukiman. Sebagian warga memilih mengungsi, termasuk
mereka yang sedang menjalani isolasi mandiri karena terpapar oleh covid-19. Jangan sampai tempat pengungsian menjadi klaster baru penyebaran virus korona.

Harus tegas dikatakan bahwa banjir yang mencekam warga Jakarta dan masih menghantui pekan ini karena cuaca buruk diprediksi terjadi hingga sepekan ke depan ialah sebuah contoh buruk.

Contoh buruk soal budaya politik dan kekuasaan yang tidak memiliki ikatan nurani dengan akar rumput. Kekuasaan, jabatan, dan  kewenangan tidak didedikasikan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat, bukan kenikmatan diri sendiri.

Banjir datang berulang dan berulang setiap tahun. Khusus untuk kali ini, jauh-jauh hari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyampaikan peringatan datangnya hujan ekstrem. Akan tetapi, antisipasi kosong melompong, banjir lebih banyak dibahas di tingkat wacana tanpa ada tindakan nyata.

Perilaku pejabat daerah tidak pernah berubah. Bencana banjir hanya menjadi seremoni kunjungan biar dianggap populis. Dapur umum dan bantuan untuk korban banjir ialah kebiasaan rutin tanpa ada kecerdasan signifikan mencarikan solusi.

Jangan hanya mengharapkan air hujan di Jakarta langsung masuk ke bumi sebab kota metropolitan itu sudah disesaki hutan beton. Pelebaran sungai, terutama Ciliwung, ialah pilihan cerdas, tak soal istilah yang digunakan normalisasi atau naturalisasi sungai.

Gubernur Anies Baswedan dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono pada Januari tahun lalu sudah menyepakati konsep pelebaran sungai. Disepakati bahwa pelebaran Ciliwung menjadi urusan pemerintah pusat dan pembebasan lahan urusan Pemprov Jakarta.

Kesepakatan itu tak kunjung terealisasi karena Pemrov Jakarta lamban dalam urusan pembebasan lahan. Pembebasan lahan belum juga rampung sehingga dilanjutkan kembali pada tahun ini bersama dengan dua kali yang belum juga selesai pembebasan lahannya, yaitu Kali Pesanggrahan dan Kali Angke.

Selain normalisasi sungai, kerja cerdas mengatasi banjir Jakarta ialah memperbaiki saluran air. Salah satu penyebab banjir teranyar ialah curah hujan di atas 150 mm per hari, sedangkan kemampuan saluran air di Jakarta mengalirkan paling banyak 100 mm air per hari.

Tidak perlu saling menyalahkan sebab rakyat sudah menderita akibat banjir. Pemprov Jakarta tentu tidak punya kemampuan untuk membendung hujan ekstrem datang kapan saja. Akan tetapi, ia punya kemampuan untuk mempercepat pembebasan lahan ataupun memperbaiki saluran air. Kerahkan seluruh kemampuan itu sekarang juga, jangan ditunda-tunda sampai ibu kota dipindahkan ke Kalimantan Timur.

Begitu ditunda, para pejabat sudah lupa ingatan bahwa Jakarta tengah menderita akibat banjir. Mereka lupa Jakarta itu simbol kemajuan dan banjir ialah bencana peradaban. Pun, mereka lupa bahwa menanggulangi banjir tahun depan harus dimulai dari sekarang juga.



Berita Lainnya