Pengawasan Dana Otsus Papua

19/2/2021 05:00
Pengawasan Dana Otsus Papua
(MI/Duta)

 

 

OTONOMI Khusus (Otsus) Papua, juga Papua Barat, tahun ini sudah berusia 20 tahun. Namun, cerita yang kita jumpai tentang provinsi paling timur di Indonesia itu masih tak jauh beda dengan 20 tahun lalu. Penerapan otsus yang diiringi dengan dana triliunan rupiah nyatanya masih saja digayuti persoalan tata kelola dan manajemen anggaran.

Akuntabilitas dan transparansi anggaran yang rendah membuat dana besar itu bukannya mampu mengangkat kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat, tapi malah kerap diselewengkan, bahkan dikorupsi. Laporan terbaru Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kini tengah didalami Polri tentang dugaan penyelewengan dana Otsus Papua dan Papua Barat senilai Rp1,8 triliun pun sesungguhnya bukan cerita yang betul-betul baru.

Penyelewengan yang diduga bermula dari pemborosan penggunaan anggaran hingga penggelembungan dana untuk pengadaan sejumlah fasilitas umum itu seperti mengulang kasus-kasus lama yang sudah duluan menggerogoti dana Otsus Papua dan Papua Barat. Sebutlah misalnya korupsi proyek pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Mimika, Papua, yang ditangani KPK. Lalu korupsi proyek pekerjaan Jalan Kemiri-Depapre di Jayapura, Papua, yang telah membawa eks Kepala Dinas Pekerjaan Umum Papua Mikael Kambuaya ke balik jeruji penjara.

Kasus-kasus tersebut sejatinya mengindikasikan satu hal, yakni pengawasan anggaran yang lemah. Kalaupun mau ditambahkan satu hal lagi ialah ketiadaan pendampingan yang memadai dari pemerintah pusat terkait tata kelola anggaran otsus yang jika ditotal sejak 2001 telah terkucur sebesar Rp93 triliun untuk Papua dan Rp33 triliun bagi Papua Barat. Bukankah semakin besar anggaran semestinya diimbangi dengan pengawasan dan pembinaan yang juga semakin kuat?

Dua poin itulah yang seharusnya menjadi variabel krusial dalam pembahasan perpanjangan Otsus Papua dan Papua Barat yang akan berakhir tahun ini. Saat ini pemerintah sudah menyiapkan rancangan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. RUU itu telah masuk Prolegnas DPR di 2021.

Jika kita tengok draf RUU itu, ada beberapa hal yang mesti dikritisi. Di Pasal 34 ayat 3 huruf e, misalnya, pemerintah akan menaikkan plafon alokasi dana otonomi khusus menjadi 2,25% dari dana alokasi umum (DAU) secara nasional. Sebelumnya, dana Otsus Papua sebesar 2% dari DAU nasional.

Boleh-boleh saja pemerintah ingin menaikkan dana Otsus Papua dan Papua Barat itu. Akan tetapi, apakah juga sudah disiapkan sistem pengawasan yang efektif sehingga dana itu tak mudah diselewengkan? Sudahkah pemerintah mengevaluasi dan mengaudit apa yang sudah dihasilkan dari dana superbesar selama 20 tahun terakhir itu? Benarkah gelontoran dana itu mampu menyejahterakan rakyat asli Papua, atau jangan-jangan malah hanya dinikmati segelintir elite di Papua maupun Jakarta?

Jika itu semua tidak disiapkan, barangkali cerita 5, 10, atau 20 tahun ke depan akan sama dengan hari ini. Penyelewengan-penyelewengan akan terus ditemukan, entah oleh kepolisian, kejaksaan, atau KPK. Sementara itu, harapan awal dari konsep otonomi khusus untuk membangun kesejahteraan rakyat Papua malah tidak terwujud. Masyarakat Papua tak juga kunjung sejahtera dan pemerataan pembangunan di provinsi itu terus menjadi mimpi.

Wacana agar pemerintah mengganti model pengawasan pengelolaan dana daerah otonomi khusus tampaknya perlu menjadi perhatian. Anggaran untuk daerah khusus semestinya dikelola dan diawasi dengan cara khusus pula. Sangat aneh bila pemerintah hanya menetapkan kekhususan pada status daerahnya, tapi tidak dengan desain pengawasan dananya.

Mumpung RUU tentang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat belum final, kiranya kita bisa menitipkan pesan kepada pemerintah dan DPR yang akan membahasnya nanti, supaya model pengawasan dana otsus dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi kekhususan Papua. Tanpa itu, revisi UU Otsus Papua hanya akan memperpanjang status kekhususan daerah itu, tapi tidak akan menghentikan lanjutan cerita lama tentang ketidakberesan akuntabilitas dan transparansi, juga tentang korupsi dan penyelewengan dana otsus.



Berita Lainnya