Belenggu Diskriminasi Perempuan

12/2/2021 05:00
Belenggu Diskriminasi Perempuan
Ilustrasi(MI/Tiyok)

 

 

DI tengah upaya keras negara untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan dan anak, ternyata muncul diskriminasi pada perempuan dan anak-anak dalam bentuk komodifikasi usaha perkawinan yang dilakukan oleh Aisha Weddings.

Menawarkan pencarian jodoh bagi anak-anak perempuan dan perempuan muda yang akan dinikahkan, Aisha Weddings memfasilitasi proses perkawinan perempuan dari usia 12 tahun hingga 21 tahun, juga memfasilitasi perkawinan poligami.

Sekilas ibarat perdagangan orang yang dibalut dengan konsep pengantin pesanan. Terkesan mengarah pada perdagangan orang karena mengeksploitasi posisi rentan dan relasi kuasa yang timpang antara pihak yang menjodohkan dan anak perempuan ataupun perempuan yang jadi komoditasnya.

Belum lagi praktik itu menerobos hukum positif negeri ini. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mengatur bahwa usia perkawinan bagi pria dan wanita minimal 19 tahun. Di bawah usia tersebut diperbolehkan asalkan mendapatkan dispensasi dari pengadilan.

Tidak hanya beriklan, Aisha Weddings juga aktif menyebarkan narasi yang mendorong anak perempuan untuk menikah lewat media sosial. Bahkan, secara terang-terangan tetap akan memfasilitasi pernikahan kalaupun dengan cara siri, tidak tercatat resmi oleh negara lewat Kantor Urusan Agama.

Praktik yang jelas-jelas meresahkan masyarakat serta bertentangan dengan agenda nasional dalam perlindungan anak serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Praktik yang mencerminkan bahwa perempuan dan anak perempuan di negeri ini masih terbelenggu diskriminasi.

Sebuah fakta keterbelakangan pola pikir sebagian masyarakat bangsa ini yang masih menempatkan perempuan dan anak perempuan sebagai warga negara kelas dua. Masih terjadi ketimpangan status gender di masyarakat yang merendahkan posisi perempuan dan anak perempuan.

Sebuah pekerjaan bagi seluruh pemangku kepentingan bangsa ini, terutama tokoh agama, untuk membangun kesadaran atas kesetaraan gender di masyarakat. Karena, bagaimanapun, praktik diskriminasi terhadap perempuan kerap dilegalisasi dengan jargon-jargon keagamaan.

Ajaran agama yang tidak lagi relevan dengan konteks kekinian tidak perlu lagi diajarkan. Bahkan, bila perlu, disingkirkan agar tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan anak perempuan. Saatnya untuk mengimplementasikan ajaran agama yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan relevan dengan kesetaraan gender.

Untuk itulah, penting agar semua pihak harus memiliki pemahaman yang sama bahwa aturan dalam UU Perkawinan yang telah menjadi kesepakatan bersama di negeri ini sebagai hukum positif mesti ditegakkan. Demi menjaga masa depan anak bangsa ini, demi menjauhkan bangsa ini dari keterbelakangan.

Kita semua sepakat bahwa pernikahan usia anak-anak membuat dunia mereka terampas. Mestinya mereka masih berhak merasakan serunya bermain bersama teman–teman, menikmati indahnya masa remaja, belajar, mengaktualisasikan bakat, serta mendapat kasih sayang dan perlindungan dari orangtua.

Mereka juga tidak bisa lagi memperoleh hak atas pendidikan. Padahal, selain bisa menjadi tangga bagi masyarakat untuk mengubah status sosial mereka, pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian dan menciptakan generasi bangsa yang cemerlang.

Perkawinan anak dapat membawa anak ke 'dunia dewasa' secara prematur. Perkawinan pada anak juga mencerminkan rendahnya status perempuan. Biasanya menimpa perempuan yang memiliki pendidikan rendah dan mereka rentan terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga.

 



Berita Lainnya