Persepsi Miring Pemberantasan Korupsi

30/1/2021 05:00
Persepsi Miring Pemberantasan Korupsi
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

EKOSISTEM pemberantasan korupsi di negeri ini bukannya dianggap membaik, tetapi justru sebaliknya. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia anjlok tiga poin menjadi 37.

IPK Indonesia 2020 dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII), Kamis (28/1). Disebutkan bahwa IPK Indonesia pada 2020 mengalami penurunan hingga tiga poin dari 2019, yakni dari skor 40 menjadi 37. Dari rentang 0-100, semakin tinggi skor, semakin dipersepsikan sebuah negara bebas korupsi. Indonesia kini berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.

Penurunan skor kedua yang tercatat sejak pascareformasi ini menjadi peringatan bagi upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Selain itu, skor 37 sama dengan angka yang diperoleh pada 2016. Maknanya, upaya pemberantasan korupsi kembali mundur empat tahun.

TII menyebutkan sejumlah indikator upaya pencegahan korupsi cenderung dilonggarkan sehingga membuat Indonesia kini setara dengan Gambia, negara dunia ketiga di Afrika.

Selain karena perubahan regulasi lewat revisi UU KPK yang banyak dipersepsikan melemahkan aksi pemberantasan korupsi, kemerosotan juga terjadi melalui kebijakan pelonggaran proses pengadaan selama pandemi covid-19 yang memberikan banyak peluang untuk terjadinya korupsi.

Faktor-faktor itu juga telah diprediksi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Di mata penggiat antikorupsi, persepsi bahwa revisi UU KPK melemahkan pemberantasan korupsi seakan sudah terpatri. Padahal, kalau melihat data, belum tentu demikian.

Persepsi yang mungkin banyak yang mengamini juga bisa diperdebatkan, bahkan dibantah. Pasalnya, seusai revisi UU KPK, upaya penindakan tetap garang. Mulai kepala daerah hingga menteri dijebloskan KPK ke tahanan lewat operasi tangkap tangan.

Penangkapan Menteri Sosial Juliari Batubara seakan membuktikan bahwa taring KPK masih bertaji. KPK berhasil menindak korupsi level terburuk yang dilakukan Juliari. Korupsi dana bantuan sosial penanganan covid-19 oleh kader PDI Perjuangan ini menunjukkan titik terendah gambaran moral para elite negeri ini.

Namun, Mahfud menegaskan bahwa dalam penjatuhan hukuman, masih kerap ditemukan vonis ringan. Hukuman kepada koruptor yang konsisten ringan, bahkan banyak terjadi pemangkasan. Maraknya putusan Mahkamah Agung tahun lalu yang memberi obral keringanan hukuman bagi koruptor.

Apa pun pembelaan pemerintah, yang penting perbaikan harus terus dilakukan. Perkuat peran dan fungsi lembaga pengawas hingga menjamin akses data bagi publik. Jangan sampai korupsi menemukan habitat terbaiknya di negeri ini sehingga tak bisa punah.

Jika korupsi menjadi bagian darah dan daging peradaban bangsa ini, sekencang apa pun pekik antikorupsi terus digaungkan, penindakan korupsi juga terasa kian galak, sejatinya celah-celah untuk mencuri uang rakyat tak pernah sepenuhnya tertutup.

Kita tidak boleh membiarkan korupsi menjelma menjadi ancaman paling mematikan bagi kelangsungan hidup negeri ini. Bangsa ini selalu bisa bangkit meskipun bencana demi bencana melanda silih berganti. Bahkan pandemi covid-19 tak mampu membuat bangsa ambruk. Namun, jika membiarkan wabah korupsi menggerogoti bangsa ini, keruntuhan akan pasti terjadi.

Persepsi korupsi itu bukan fakta, ia semacam kesan. Karena itu, sebaiknya KPK terus mendorong praktik-praktik good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dengan membuka data serta menyediakan saluran pengaduan masyarakat.



Berita Lainnya