Bukan Wadah para Preman

26/1/2021 05:00
Bukan Wadah para Preman
(MI/Seno)

 

 

ISTILAH pasukan pengamanan masyarakat swakarsa atau pam swakarsa mendadak kembali populer setelah calon Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan rencana menghidupkan kembali satuan itu.

Di hadapan Komisi III DPR pada uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri pekan lalu, Listyo menyatakan pam swakarsa harus lebih
diperanaktifkan dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Perbincangan di tengah publik pun terus bergulir. Sebagian kalangan menentang karena pam swakarsa mengingatkan pada kelompok sipil yang dipersenjatai penguasa Orde Baru untuk menghadapi para demonstran. Meski sudah berlalu dua dekade, trauma itu masih begitu melekat.

Dari sisi peraturan perundangan, rencana pengaktifan pam swakarsa bukan sesuatu yang baru. Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebut dalam melaksanakan fungsinya Polri dibantu salah satunya oleh bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Dalam lampiran penjelasan, pengamanan swakarsa disebut memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam lingkungan kuasa tempat.

Contohnya, pengamanan lingkungan permukiman, lingkungan kerja, dan satuan pengamanan pada kawasan perkantoran atau pertokoan.

Rencana menghidupkan kembali pam swakarsa diinisiasi Kapolri Idham Azis yang saat ini masih menjabat. Melalui Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020, Kapolri memperjelas konsep pam swakarsa.

Pasukan itu dapat berupa satuan pengamanan, satuan pengamanan keliling, dan kelompok kearifan lokal.

Pengaturan pam swakarsa tersebut memang berbeda dengan anatomi pam swakarsa Orde Baru yang dibentuk begitu saja tanpa payung hukum yang kuat.

Akan tetapi, jangan pula terburu-buru menafikan kekhawatiran pihak-pihak yang menentang. Selalu ada celah dalam aturan yang bisa dimanfaatkan untuk menyelewengkan fungsi pam swakarsa.

Pada bentuk kelompok kearifan lokal, misalnya, ada kelompok sadar keamanan dan ketertiban masyarakat. Bentuk ini bisa saja menjadi wadah sekelompok orang bermental preman yang mengklaim menjaga keamanan atau menegakkan aturan.

Pam swakarsa bisa diklaim berbeda karena mereka harus mendapat pengukuhan kepolisian seperti diamanatkan undang-undang. Namun,
pengukuhan memiliki bentuk lain, yakni pembiaran. Lihat saja sepak terjang ormas-ormas yang meresahkan masyarakat dengan aksi premanisme dan intoleran.

Mereka leluasa memungut ‘uang keamanan’ dari minimarket-minimarket, menempatkan tukang-tukang parkir, serta menggelar berbagai macam razia.

Bahkan, ormas yang kontroversial karena aksi-aksi razia mengatasnamakan agama disebut berakar dari salah satu elemen pam swakarsa era Orde Baru.

Di samping seperangkat aturan yang ada untuk mengawal, Polri tetap perlu berhati-hati menghidupkan kembali pam swakarsa.

Alangkah baiknya bila itu dimulai dengan pemakaian istilah lain. Dengan begitu, persepsi publik tidak otomatis terarah pada ingatan trauma masa lalu.

Polri juga bisa memulainya dengan menginisiasi pembentukan kelompok-kelompok pengamanan swadaya masyarakat untuk dijadikan percontohan.

Seiring dengan itu, Polri perlu terus menyosialisasikan dan mendorong partisipasi masyarakat agar berswakarsa membantu kerja polisi menjaga keamanan dan ketertiban.

Buktikan pengamanan swakarsa bukan wadah para preman, melainkan sarana kerja bareng menciptakan rasa aman dan nyaman di lingkungan sendiri.



Berita Lainnya