Batu Sandungan Vaksinasi Gratis

18/12/2020 05:00
Batu Sandungan Vaksinasi Gratis
Ilustrasi(MI/Duta)

 

 

VAKSIN covid-19 akan diberikan secara gratis kepada seluruh masyarakat. Keputusan Presiden Joko Widodo itu mengakhiri polemik di tengah masyarakat tentang biaya yang harus dikeluarkan warga untuk mendapatkan vaksin pencegah covid-19 tersebut.

Bukan itu saja, Presiden menyatakan akan menjadi o rang pertama yang menerima suntikan vaksin korona. Di tengah perdebatan soal keamanan vaksin, pernyataan Presiden sudah memberikan sinyal tegas kepada publik; pemerintah akan memastikan keamanan vaksin covid-19 sebelum digunakan.

Pemberian vaksin secara cuma-cuma dengan Presiden sebagai penerima perdana menegaskan betapa pentingnya program vaksinasi covid-19. Tidak hanya penting, tetapi juga mendesak. Vaksinasi harus berjalan lancar dan menjangkau seluruh rakyat demi memutus rantai penularan virus korona secara permanen.

Walau mendesak, pelaksanaannya pantang grasagrusu. Semua harus dipastikan berjalan dengan mekanisme yang telah dipersiapkan secara matang. Pun, pelaksanaannya memerlukan landasan hukum yang mengikat secara nasional.

Landasan hukum diperlukan karena Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 9860 Tahun 2020 yang masih berlaku saat ini menyebutkan dua jenis program vaksin, yaitu vaksin gratis dan vaksin mandiri. Vaksin gratis menjadi urusan Menteri Kesehatan dan vaksin mandiri ditangani Menteri BUMN.

Pernyataan Presiden bahwa vaksin covid-19 seluruhnya diberikan secara gratis perlu diikuti dengan landasan hukum. Setidaknya, Keputusan Menteri Kesehatan 9860/2020 segera direvisi.

Demikian pula kesiapan peraturan daerah untuk mendukung keberhasilan vaksinasi. Contohnya, perda DKI Jakarta yang telah mengatur sanksi denda bagi warga yang menolak divaksinasi maupun yang  menghalang-halangi upaya vaksinasi.

Setidaknya ada dua hal yang sangat mungkin menjadi batu sandungan vaksinasi covid-19. Pertama, penolakan masyarakat. Betul, vaksin gratis dan Presiden sebagai orang pertama yang mendapat suntikan vaksin telah menghapus keengganan sebagian masyarakat.

Akan tetapi, tidak semua sudah teryakinkan. Tanpa sosialisasi yang tepat dan gencar, kekurangpahaman tentang keamanan maupun pentingnya mendapatkan vaksin covid-19 akan terus mengganjal.

Di sini, transparansi pemerintah dari proses pengadaan, distribusi, hingga penyuntikan memainkan peran penting. Beri informasi yang jelas dan benar kepada masyarakat. Jangan biarkan disinformasi berkembang biak akibat ketertutupan di pihak pemerintah hingga memperkuat penolakan di masyarakat.

Faktor penghambat kedua, persoalan teknis distribusi hingga proses penyuntikan vaksin kepada warga. Dalam hal ini yang terbayang ialah proses rutin perekaman dan pencetakan KTP elektronik yang selama bertahun-tahun menciptakan waktu tunggu bulanan bahkan tahunan. Sampai tahun ini masih ada hambatan blangko habis atau lainnya. Akibatnya, tidak 100% pemilih dalam Pilkada 2020 sudah mendapatkan KTP-E.

Distribusi vaksin hingga ke pelosok memerlukan kesiapan pengemasan dan penyimpanan ampul vaksin sesuai standar yang disyaratkan agar tidak rusak. Ada waktu tunggu dari sejak pengiriman hingga siap disuntikkan ke warga yang harus diperhitungkan.

Belum lagi potensi korupsi dan pungli yang menyertai pelaksanaan program vaksinasi, dari pengadaan hingga penyuntikannya. Berkaca dari pengalaman, korupsi dan pungli telah membuat penyediaan KTP-E bagi warga sempat amburadul.

Kali ini, harus dipastikan pasal ancaman hukuman mati benar-benar akan diterapkan kepada pelaku korupsi program vaksinasi covid-19. Bukan sekadar jargon.

Satu hal yang tidak boleh pula dilupakan. Memberikan vaksin kepada lebih dari 200 juta penduduk tidak bisa diselesaikan dalam waktu pendek. Hingga vaksinasi tuntas dan penularan covid-19 terhenti, protokol kesehatan masih harus terus ditegakkan. Jangan biarkan rakyat terlena buaian aroma vaksin yang memberikan kebebasan semu dari covid-19.

 

 

 



Berita Lainnya