Mencegah Amnesia Korona

15/12/2020 05:00
Mencegah Amnesia Korona
(MI/Seno)

 

 

BUKANNYA mereda, virus korona yang telah 10 bulan menyerang Indonesia sejak Maret lalu justru semakin menggila. Alih-alih melandai, jumlah kasus positif covid-19 malah kian meninggi, sampai-sampai rumah sakit kewalahan menangani.

Jumlah penderita virus menular dan mematikan yang terus melonjak itu membuat ruang isolasi rumah sakit di beberapa daerah hampir atau telah penuh.

Tingkat okupansi pun mendekati maksimal sehingga rumah sakit terpaksa merombak ruanganruangan lain untuk dijadikan instalasi gawat darurat tambahan.

Pemerintah daerah tak kalah repot. Mereka di paksa memutar otak untuk mengatasi persoalan akibat terus bertambahnya pasien covid-19 dengan menyulap fasilitas umum menjadi rumah sakit darurat.

Harus kita katakan, apa yang terjadi sekarang sangat mengkhawatirkan. Jika tidak ada langkah ekstrem untuk mengendalikannya, penambahan jumlah pasien covid-19 bisa membuat rumah sakit kolaps. Apabila itu sampai terjadi, situasi dipastikan akan semakin gawat.

Bagaimanapun, rumah sakit merupakan tempat terbaik untuk merawat penderita covid-19. Betul bahwa isolasi bisa dilakukan secara mandiri di rumah, tetapi itu hanya untuk pasien yang tingkat keterpaparannya belum terlalu berat atau mereka yang tanpa gejala.

Celakanya lagi, penambahan kapasitas tempat tidur di rumah sakit maupun rumah sakit darurat tidak lagi sebanding dengan penambahan jumlah penderita korona.

Antrean untuk menghuni ruang isolasi semakin panjang, demikian halnya daftar tunggu untuk menempati ruang perawatan.

Fenomena itu jelas dan tegas mengonfi rmasi bahwa upaya pencegahan yang kita lakukan selama ini masih jauh panggang dari api. Terus melonjaknya kasus positif menunjukkan pula bahwa meski sudah hampir setahun berperang, kita belum sepenuh hati untuk menjadi pemenang.

Mustahil dimungkiri bahwa sudah banyak yang dilakukan negara untuk memerangi korona. Namun, tak mungkin dimungkiri pula, masih  banyak celah yang membuat semua upaya itu tak paripurna. Di sana-sini tetap saja ada pembiaran pelanggaran protokol kesehatan, penegakan hukum pun terkadang masih sesuka hati.

Fakta tersebut diperparah tingginya tingkat pengabaian masyarakat terhadap protokol pencegahan covid-19. Satgas Penanganan Covid-19 bahkan terang-terangan menyebut ada penurunan signifikan dalam hal kepatuhan publik memakai masker. Pada September lalu, tingkat ketaatan itu sebesar 83,67% dan anjlok menjadi 57,78% awal bulan ini.

Demikian pula dengan kedisiplinan menjaga jarak dari 59,57% menjadi 41,75%. Padahal, di samping mencuci tangan dengan sabun sebagai bagian dari gerakan 3M, mengenakan masker dan menjaga jarak adalah senjata paling ampuh saat ini untuk membendung penularan korona.

Selama belum ada vaksin dan obat, protokol 3M adalah keniscayaan. Setelah ada vaksin dan obat pun, 3M tetap menjadi kemestian agar upaya pencegahan virus korona sempurna.

Melalui forum ini kita tak bosan mengingatkan bahwa kedisiplinan untuk menaati protokol kesehatan tak bisa ditawar sedikit pun.  Mengabaikan protokol kesehatan sama saja mengabaikan keselamatan diri sendiri dan juga keselamatan orang lain. Dalam situasi seperti saat ini, sikap seperti itu boleh dikata zalim.

Kita memahami, perang melawan korona yang begitu panjang amat menjenuhkan. Tetapi, kita harus ingat bahwa perang belum usai, bahkan bahaya makin ganas mengintai. Karena itu, kewaspadaan dan kepatuhan pada protokol pencegahan mutlak terus dikedepankan.

Menganggap situasi tak lagi berbahaya padahal sebenarnya masih berbahaya merupakan sikap yang sangat berbahaya. Jangan pernah kita amnesia terhadap korona yang sesungguhnya kian gemar mencabut nyawa.



Berita Lainnya